23 September 2011

PERJODOHAN # 6 : Cerita tentang Perjodohan


Meski gerah mendengarkan cercaan mamanya tentang Prastiwi, namun Fajar tetap membuntuti mamanya hingga keluar kamarnya menuju ruang tengah. Dan siap mendengarkan cercaan berikutnya.Sebenarnya ia hanya khawatir dengan kemarahannya itu. Mamanya diam mematung menghadap jendela besar yang ada di ruangan itu hingga beberapa lama.
"Aku berniat tidak akan menemuinya. .Mama percaya sama aku, kan? Kalaupun aku menemuinya, itu hanya  untuk memberikan kartu mahasiswanya," kata Fajar membuka suara.
"Sudah, buang saja ke ke got kartu mahasiswanya itu!" sahut mama kesal.
"Jangan, Ma, kasihan, kartu mahasiswa itu penting untuknya. Setidaknya untuk mengikuti kegiatan atau menggunakan fasilitas di kampusnya, ia perlu kartu mahasiswa itu. Kelihatannya dia itu juga golongan orang menengah. Orangnya sederhana tapi semangat belajarnya tinggi. Dia juga pintar...'
''cukup, Jar!" tukas mamanya dengan berseru. "Mama tahu siapa dia. Latar belakangnya seperti apa juga mama tahu. Orang tuanya, keluarganya, semuanya!"
"Jadi mama kenal dengan Prastiwi?" Fajar nampak tercengang. Bingung menerka-nerka dari mana cara mamanya bisa mengenal Prastiwi.
Tubuh langsing itu berbalik membelakangi jendela. Fajar kini bisa melihat dengan jelas wajah mamanya yang terlihat  menegang. Bibirnya bergetar seperti ingin berkata-kata tapi susah mengeluarkannya. Tangannya mencengkeram sandaran sofa, seolah khawatir tubuhnya tiba-tiba limbung ke lantai. Fajar mengambil tangannya dan membimbingnya menuju sofa. Mereka duduk berhadapan. Dan Fajar menunggu cerita mamanya tentang Prastiwi dengan sabar sekaligus penasaran.
"Ibunya teman baik mama tadinya. Ayahnya juga sahabat papamu. bahkan mbah kakungnya adalah teman eyangmu waktu itu," ujarnya mulai  menguasai diri.
Fajar tertegun mendengar penuturan itu. Ibunya Prastiwi teman mamanya. Ayahnya Prastiwi sahabat papanya. Bahkan kakeknya adalah teman eyangnya pula. Kalau begitu bukankah seharusnya hubungan dua keluarga itu akrab dan harmonis? Tapi kenapa mamanya sangat membenci Prastiwi, anak teman baiknya? Kalaupun tidak menyetujui atau khawatir ada hubungan istimewa antara dia dan Prastiwi, tapi kenapa mamanya harus semurka itu tiap kali mendengar ia menyebut tentang Prastiwi? Ada apa sebenarnya?
"Ma," sehalus mungkin Fajar berusaha menyadarkan mamanya."Apa benar Prastiwi yang mama maksud sama orangnya dengan yang di kartu tadi?"
"Tentu saja. Alamatnya jelas!" sahutnya kembali melecut.
"Mama tahu rumahnya? Maksudku pernah ke rumahnya?" tanyanya gagap. Ia bingung dengan apa yang hendak ia tanyakan. Banyak sekali tanya yang berimpitan di ruang oataknya dan ia harus mengeluarkannya satu persatu." Ma, masalahnya aku nggak tahu kenapa mama bisa benci sekali pada Prastiwi."
"Karena dia orang yang ingin menghancurkan masa depanmu. Dia juga pasti akan menghalangi rencana mama untuk menjodohkanmu dengan Selvi."
"Bukan. Bukan itu masalahnya. Aku tahu, Ma. Ada masalah apa antara keluarga kita dan keluarga Prastiwi? Apa mama, papa atau eyang pernah berselisih tentang suatu hal dengan pihak keluarga Prastiwi?"
Mata mama menatap nanar ke wajah putranya, lalu bergeser pedih ke arah dinding putih dan melesak keluar jendela. Di sanalah, jawaban dari pertanyaan Fajar tergambar. Sebuah kejadian besar yang sempat membuat dia dan keluarganya merasa bagaikan manusia terhina dan tak berharga sama sekali. Penolakan atas perjodohan antara Fajar dan Prastiwi sekitar satu setengah tahun yang lalu itu membuatnya syok berat. Bahkan hingga saat inipun sayatan penghinaan itu masih terasa perih dan seolah masih berdarah saat ada yang mengungkitnya seperti sekarang ini..
Fajar terpana hingga beberapa saat. "Jadi mama dan papa waktu itu menjodohkan aku dengan Prastiwi?!" tanya Fajar baru mengerti. Hatinya tiba-tiba merasa getir.
"Ya," sahut mamanya dengan getir pula dan nyaris tak terdengar. Ia menatap putranya dengan penuh rasa sesal sekaligus iba. "Pihak keluarga Prastiwi tiba-tiba menolak justru saat mama dan papa datang untuk melamar? Padahal kesepakatan sudah dibicarakan dan diputuskan dengan matang oleh keluarga kita maupun keluarga Prastiwi?"
Fajar terpaku di tempatnya. Pandangannya menerawang, seolah menyaksikan kembali rekaman kejadian setahun silam. Ia ingat waktu mamanya mengatakan bahwa ia sudah dijodohkan dengan seseorang. Dan Fajar hanya menurut saja waktu itu. Kalaupun harus menikah saat itu juga, ia sudah menyerahkan segala urasan pernikahan kepada mamanya. Kesibukan di tempat kerjanya sungguh tak sempat membuatnya berpikir untuk menolak seseorang yang sudah dijodohkan dengannya. Ia percaya, mama dan papanya akan memilihkan seseorang yang terbaik untuknya. Tapi mendadak ia mendengar berita bahwa perjodohan itu dibatalkan karena pihak cewek yang dijodohkan dengannya tiba-tiba menolak rencana perjodohan tersebut, Waktu itu memang tidak ada yang ia rasakan, apalagi merasa terhina seperti halnya mamanya. Hatinya benar-benar tawar. Tidak merasakan kesedihan ataupun kebahagiaan dengan kejadian itu. Entah apa yang dipikirkannya. Ia tidak mengenal calon pinangannya. Tahu wajahnya seperti apa juga enggak. Yang ia tahu ia harus menuruti mamanya. Menikah. Titik.
"Sebenarnya mama tidak ingin mengingat-ingat hal itu lagi. Terlalu sakit saat mengingatnya," Terdengar kembali suara mamanya diantara desah sedihnya "Kamu cukup tahu saja bagaimana kamu bersikap di hadapan gadis tidak tahu diri itu.  Saat ini, tidak ada maksud lain dalam dirinya selain hanya ingin menghancurkanmu untuk kedua kalinya. Dia hanya akan mempermainkan perasaanmu, Fajar. Ingat itu!"
"Ya, Ma," sahut Fajar lirih.

>=< >=< >=<

17 September 2011

PERJODOHAN #5 : Kegusaran sang mama


 Mungkin ada baiknya kalau ia berterus-terang pada mamanya kalau ia tidak pernah mencintai Selvi. Lalu? Ia menarik nafas berat. Dipandangi foto dalam kertas berlaminating itu. Begitu bening wajahnya. Nyaris bagai bocah yang tak tersentuh dengan urusan dosa. Kalau saja ia tidak terburu-buru mengatakan tentang sisi buruknya waktu itu, mungkin Fajar sudah akan membawanya ke rumahnya. Gadis yang nampak lugu, cantik dan pintar tentu saja itu akan diperkenalkan dengan mamanya sebagai calon istrinya. Apa kira-kira komentar mamanya? Apa mamanya akan menyukainya dan mengagung-agungkannya sebagai mana terhadap Selvi?
Dan Prastiwi. Apa ia bersedia menjadii calon istrinya? Atau setidaknya menjadi pacar. Dia masih begitu belia. Rasanya sulit memastikan dia bakal bersedia menikah di usianya yang sekarang. Di mana dia masih suka bersenang-senang dan berkumpul bersama teman-temannya. Sembilan puluh persen Fajar yakin isi hati gadis itu. Dari matanya yang bersinar kala tiba-tiba bertemu, dari pendar bola matanya kala diam-diam terperangkap tengah memandanginya. Meski belum pernah memegang tangannya, ia juga yakin jemari mungilnya itu pasti terasa dingin dan hatinya berdebar tak menentu manakala menunggu detik-detik pertemuan mereka.
Prastiwi menyukainya. Tentu saja. Siapa yang tidak mau punya pacar kayak dia? Seorang ibu pasti tidak keberatan bila anak gadisnya punya hubungan khusus dengannya. Minimal karena dia punya masa depan dan bukan seorang pengangguran. Lagi pula Fajar juga lumayan ganteng, punya penghasilan lumayan, dan punya jabatan di sebuah perusahaan yang cukup besar.
Seperti dia juga menyukai gadis itu. Beberapa hari yang lalu perasaan itu tidak seyakin saat ini. Begitu ia memutuskan tidak akan menemuinya, seolah ada bagian di dalam kalbunya  yang memberontak dan menolak keputusan besar itu. Bahkan saat ini ia sudah mulai kangen. Sudah seminggu mereka tidak bertemu.
Entah apa yang terjadi dalam dirinya. Ia dipenuhi perasaan aneh berkaitan dengan gadis bernama Prastiwi. Semakin ingin dihapus dari ingatnnya, semakin kuat bayangannya itu melekat dalam benaknya.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu mamanya sudah berada di ruang kamarnya. Berdiri tepat di samping kursinya, tempat ia duduk melamun. Ia kaget. Tapi sadar nggak ada yang bisa ia sembunyikan dari mamanya. Kartu mahasiswa itu dalam beberapa saat sudah berpindah tangan.
"Siapa dia?" tanya mamanya langsung.
"Teman, Ma.Ini kartu mahasiswa punyanya terjatuh dijalan. Aku akan mengembalikannya."
"Siapa namanya?" tanya mamanya dengan penasaran Ia seperti nggak punya kemampuan membaca huruf -huruf yang tercantum di dalam kartu mahasiswa yang di pegangnya dan di letakkan di dekat wajahnya. Matanya mengeriyip berusaha mengeja tulisan dengan lebih jelas.
"Mama baca sendiri, kan? Namanya Prastiwi. Gimana pendapat mama? Dia cantik, kan?"
"Cewek kayak begini ?!"tiba-tiba terdengar serentetan letusan dari mulut wanita cantik itu.
Fajar tercekat. "Tenang saja, ma. Aku hanya bercanda, kok."
 Fajar seolah memahami maksud kegusaran mamanya. Tentu saja gadis pilihannya tidak akan mau disamakan dengan gadis manapun. Pilihan mamanya bulat, Selvi. Dan tidak ada yang lain selain Selvi.
"Kamu benar-benar keterlaluan!"Sekali sentak, kartu kecil berlaminating itu terhempas ke meja Fajar.
"Kenapa mama marah-marah begitu, sih? Demi Allah, Ma, aku dan Prastiwi hanya berteman. Memang kami pernah bertemu beberapa kali. Tapi kami nggak ada hubungan apa-apa," jelasnya.
"Mama minta kamu jangan menemui cewek itu lagi! Mama tahu siapa dia."
Bagaimana mungkin mama bisa tahu seseorang hanya dalam waktu sekejap dan dengan melihat gambarnya yang berukuran kecil di sebuah kartu mahasiswa? Fajar hampir tersenym mengingat hal itu. Perlahan tangannya meraih lengan mamanya. Dielusnya lengan yang mulai terlihat kendor itu dielusnya dengan lembut, sekedar menghiburnya sekaligus meyakinkannya bahwa ia akan melakukan apapun yang diperintahkannya.

>=< >=< >=<

15 September 2011

PERJODOHAN # 4 : Misteri gadis berjilbab


 Handphone berdering. Fajar hanya menoleh enggan ke arah benda kecil di atas tempat tidurnya dan tidak berusaha meraihnya. Ia mengacuhkannya dan kembali memusatkan perhatiannya ke arah layar laptop yang sejak beberapa jam tadi dipelototinya. Namun sekitar dua menit, kembali handphone itu bernyanyi. Lampunya menyala terang, sehingga terlihat getaran yang ditimbulkannya. Dengan kesal akhirnya Fajar bangkit meninggalkan meja kamputernya. Ternyata Selvi.  Ia menjawab telpon itu dengan nada malas dan agak ketus.
Kalau tidak ingat bahwa gadis itu yang diharapkan mamanya kelak menjadi istrinya, ia tidak akan memperdulikan panggilannya di telpon. Apalagi Selvi hanya membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak penting baginya. Hanya ucapan-ucapan basa basi  yang membuatnya muak. Lagi pula Selvi akan mengadu pada mamanya perihal telpon yang tidak dijawabnya.
Ketika hendak kembali menekuni pekerjaan kantornya yang dibawanya di rumah, ia sudah sulit sekali berkonsentrasi. Kekesalannya pada Selvi, mengingat keinginan mamanya untuk menjodohkan Selvi dengan dirinya, juga menyadari kebodohannya yang tak mampu mencari sendiri seorang calon istri. Semua itu membuat kacau isi kepalanya dan ketika hendak memaksakan diri kembali mengutak-atik pekerjaan kantornya, mendadak ia merasa kepalanya pening.
Ia merebah di atas kasur. Berusaha memejamkan matanya. Suatu ketika ia pernah bermimpi bertemu dengan seorang gadis berjilbab. Tidak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba cewek itu muncul dengan jarak beberapa meter dari arahnya. Pakaiannya rapi dengan nuansa warna hijau lembut dari mulai jilbab, baju dan rok panjangnya yang menutupi seluruh bagian kakinya.  Fajar menaksir mimpinya tak lebih dari sebuah bunga tidur. Namun anehnya, meski hanya sekali dan dalam waktu sekejap ia bertemu dengan gadis berjilbab itu, namun bayangannya terus mengendap di dalam ingatannya. Seolah ia melihatnya nyata dan bukan dalam mimpi.
Fajar merenung dan terus memikirkan mimpinya. Ia mulai mendapat semacam hidayah.  Karena semenjak itu  ia menegaskan dirinya bahwa ia akan berusaha mendapatkan seorang pacar atau calon istri seorang yang berjilbab. Selvi tentu saja bukan termasuk kategori di dalamnya. Dia nggak pakai jilbab, dan selalu mengenakan pakaian ketat atau rok pendek sepaha setiap kali datang ke kantor.  Sehingga semua lelaki selalu punya kesempatan menikmati sebagian kemulusan bagian tubuhnya yang sengaja dipertontonkan itu. Beberapa gadis di kantornya yang memakai jilbab sungguh tidak ada yang memenuhi seleranya. Ada saja kekurangann yang terlihat di matanya. Lalu iapun berusaha melupakan mimpinya, sampai ia bertemu dengan Prastiwi suatu hari di sebuah toko buku di kawasan alun-alun.
Prastiwi juga tidak berjilbab. Tapi entah kenapa ia selalu membayangkan wajah gadis berjilbab dalam mimpinya itu adalah Prastiwi. Prastiwi selalu mengenakan celana panjang dan blus panjang atau kaus yang di rangkapi sebuah jaket. Hanya dengan melilitkan sebuah kain di kepalanya ke arah lehernya, jadilah dia gadis berjilbab. Tapi Prastiwi tidak pernah memakai jilbab. Seperti yang dilihatnya selama ini. Mungkinkah  mimpi itu menggambarkan sebuah akhlak islami dengan isyarat sebuah jilbab? Oh, Fajar benar-benar berharap Prastiwilah gadis dalam mimpinya itu.
Tapi tiba-tiba ia melihat kenyataan Prastiwi mengaku seorang pecinta alam. Seorang yang ternyata suka mendaki gunung. Cewek macam apa dia? Sesungguhnya liar dan bengal. .Pantas saja ia sering mengatakan kalau sering nongkrong dan pulang ke rumah saat larut malam. Cewek baik-baik akan pulang ke rumah usai kuliah. Diam di rumah, belajar. Bukannya berkeliaran hingga tengah malam. Fajar juga heran kenapa seolah ia juga terperangkap dengan kisahnya yang selalu blak-blakan ia ungkapkan Waktu itu ia pernah cerita tentang tingkah polah konyol teman-temannya yang tengah mabuk. Uh, jangan-jangan ia termasuk anak-anak yang tengah mabuk itu. Gumam Fajar dengan hati gusar.
Lalu siapa gadis berjilbab dalam mimpiku itu ya Allah? Tolong berikan petunjuk kepadaku! Desahnya dalam sebuah  liris doa. Aku benar-benar nggak punya bayangan tentang seseorang yang bisa kuajukan ke hadapan mama. Apakah Selvi pada akhirnya yang akan menjadi istriku? Aku sungguh tidak pernah mencintainya.
(tunggu...)
>=< >=< >=<

13 September 2011

PERJODOHAN #3 : Selvi, jodoh pilihan mama

Fajar menyimpan kartu mahasiswa itu di dalam dashboard mobil. Ia urung menyerahkannya tadi begitu melihat Prastiwi terlihat muncul dari arah kampus menuju pintu gerbang bersama segerombol teman-temannya sambil berboncengan dengan sepeda motor. Tidak ada satupun dari mereka yang mengenakan helm. Mereka berkoar-koar sepanjang jalan, cekakak-cekakak dan terlihat liar seperti di dalam hutan. Dengan kencang motor-motor itu melaju ke jalanan menjauh dari kampus. Mustahil Fajar mengejarnya.  Dia akan ngebut memburu Prastiwi yang berboncengan dengan seorang cowok hanya  untuk memberikan sebuah kartu mahasiswa. Apa kata teman-temannya nanti? Berpuluh tanya akan dilontarkan seketika oleh mereka sehubungan dengan keberadaannya itu. Belum reaksi Prastiwi yang pasti kaget, marah , atau malu mungkin melihatnya tiba-tiba muncul di hadapannya.
Entah apa yang akan dilakukannya dengan kartu mahasiswa itu kini. Ia akan datang lagi ke kampus? Menunggunya di tempat biasa mereka bertemu? Atau pergi ke rumahnya? Entahlah, saat ini ia  benar-benar ingin melepaskan prastiwi dari ruang pikirannya.
Sesosok wanita setengah baya menyambutnya dengan hangat di ruang depan. Fajar merunduk untuk memberinya ciuman penuh sayang pada mamanya.
"Bagaimana keadaan di kantormu?" tanya mamanya begitu mereka duduk di ruang tengah. Seorang pembantu datang menyuguhkan secangkir teh hangat di atas meja.
"Baik-baik saja, Ma," Fajar langsung menyeruputnya dan meletakkan sisanya di atas meja lagi.
"Kamu tadi ketemu Selvi  di kantor?"
Fajar tercengang mendengar tanya itu. Ia mengingat-ingat apa yang diakukannya seharian tadi. Ia keluar kantor sebelum jam makan siang, lalu nongkrong selama berjam-jam di depan kampus Prastiwi sampai sore dan langsung pulang. Perlahan gelengannya terlihat lesu " Enggak, Ma. Aku nggak ketemu Selvi tadi kantor. Karena aku ...."
"Kamu keluar kantor seharian dan mematikan handphone-mu," tukas wanita setengah baya itu.
"Iya, handphone-ku low bath. Aku lupa mengecargh-nya semalam," terpaksa ia berbohong.
"Karena tidak bisa mengubungimu di handphone, dia menepon ke rumah. Akhirnya dia ngobrol  dengan mama panjang lebar di telpon," ujar mamanya. "Mama rasa dia gadis yang baik. Sopan, cantik, seksi, profesional di dalam pekerjaannya," lanjutnya dengan nada hati-hati. Kenapa kamu nggak segera menjatuhkan pilihanmu kepada gadis seperti Selvi itu? Kurang apa dia?"
Fajar tidak segera menyahut. Hanya terlihat mengusap wajahnya yang berminyak dan berkeringat.
"Nggak ada manusia yang sempurna. Kamu pun nggak sempurna. Apa yang kamu cari di dunia ini? Manusia nggak akan bisa mencapai akherat tanpa melewati dunia ini. Pekerjaanmu itu bukan segala-galanya," lanjut  sang mama.
"Aku bersedekah, berzakat, berinfak dan beramal dari hasil aku bekerja. Mama tahu itu kan?" protesnya.
"Tapi itu saja tidak cukup, Nak. Itu hanya sebagian kecil  saja . Kalau kamu menikah, baru kamu menjalankan separuh dari agamamu. Menikahlah, Fajar. Mama mohon. Ingat, umurmu sudah tidak muda lagi. Apa yang kamu tunggu? Seorang gadis sudah menunggumu dengan begitu sabar. Mama ingin kamu sehari-hari ada yang mengurusmu dan memperhatikanmu."
Terdengar helaan nafas panjang dan berat keluar dari hidung dan mulut laki -laki itu. Tubuhnya terkulai lemah di sandaran sofa. Sepintas bayangan Prastiwi berkelebat di pelupuk matanya. Tapi Fajar segera mengenyahkannya. "Iya, Ma. Mama atur saja semuanya.  Aku yakin mama  akan mengusahakan yang terbaik untukku," ucapnya pasrah.
"Apa kamu trauma dengan kejadian dulu?"
"Kejadian yang mana?"
"Perjodohan kamu yang gagal dulu?"
"Ah, aku pikir mama yang trauma. Aku sih it's oke.," 
"Dipaksa sekalipun kalau memang bukan jodoh, nggak bakal ada pernikahan," ujar mamanya dengan setengah menggumam,seolah mengatakan hal itu untuk dirinya sendiri pula.
Terlihat anggukan Fajar meski lemah. Setelah itu iapun masuk ke dalam kamarnya. Ia sempat menyalakan handphone dan memeriksa beberapa panggilan dan pesan singkat. Ada sebuah sebuah pesan singkat muncul di layar handphone-nya itu. Dari Selvi. "Kemana aja, sih? Banyak berkas dan dokumen penting yang harus kamu periksa dan kamu tandatangani. Aku taruh di laci mejamu." Dan ada satu lagi tulisan sekretaris di kantornya itu, "Sudah lama sekali kita tidak makan siang bareng, ya?"
Ia meletakkan handphone-nya dan pergi segera ke kamar mandi.(tunggu lanjutannya, ya!)

>=< >=< >=<

11 September 2011

PERJODOHAN #2 : Kartu mahasiswa


 Fajar menatap kertas berlaminating berukuran sedikit lebih besar ketimbang ukuran KTP. Di dalamnya terdapat sebuah foto milik seseorang berwajah imut, seumuran anak sekolah, lalu data lengkap tentang keberadaannya di dalam sebuah kampus universitas. Nama lengkap, tahun angkatan, fakultas, jurusan, juga alamat lengkap tempat tinggalnya.
"Maaf, aku mau pulang sekarang. Masalahnya aku belum sholat asyar," pamit Prastiwi sore itu. Karena terburu-buru, ia sampai nggak terasa meninggalkan kartu mahasiswanya tercecer di meja.
Fajar memungutnya dan menyimpannya hingga sekarang. Sebenarnya ia sudah tidak berpikir untuk menemuinya sejak mendengar penuturannya tentang kegiatannya di pecinta alam. Tapi karena kartu mahasiswa itu, ia merasa terikat untuk menemuinya sekali lagi, hanya sekedar untuk mengembalikan kartu mahasiswa itu. Kasihan, dia pasti mencarinya ke mana-mana dan tidak bisa bebas menggunakan fasilitas kampus tanpa memegang kartu mahasiswa di tangannya.
Kenapa ia suka naik gunung? Gumam batinnya mendesah. Sayang sekali. Anak secantik  dan selugu itu harus salah memilih lingkungan dalam pergaulannya. Tapi, apa ia seburam praduganya? Bahwa seorang anggota pecinta alam pastinya menjadi black list bagi sebagian besar mahasiswa, bahkan para dosen? Dikarenakan sikap urakan dan penampilan nyeleneh mereka. Dulu sewaktu masih mahasiswa, ia kenal  salah seorang  teman cewek yang menjadi anggota pecinta alam. Dia perokok, peminum dan ikut-ikutan menghisap ganja karena pacarnya juga pemakai narkoba. Dan mereka terlibat seks bebas meski akhirnya menikah  dengan resmi begitu mereka lulus kuliah.
Apa Prastiwi seperti itu juga? Fajar begitu resah dan miris  memikirkan satu kemungkinan itu. Meski ia mengaku sholat, seperti pamitnya sore itu. Ia mau pulang karena belum sholat asyar. Apa berarti seorang Prastiwi sebuah pengecualian? Tidak semua orang yang aktif di pecinta alam dan suka naik gunung pasti kehidupannya akan sehitam air comberan. Tapi benarkah? Ia belum pernah bertemu dengan seorang pecinta alam dalam pengecualian sebagaimana yang dikhayalkan Fajar dalam diri Prastiwi. Kepalanya tergeleng beberapa kali. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Teriak hatinya sekencangnya. Tidak mungkin ia akan jatuh cinta dengan gadis seperti itu. Tidak mungkin ia akan membawa gadis bandel ke hadapan mamanya, lalu mengatakan bahwa ini adalah calon istrinya.
Fajar bertekad mengembalikan kartu mahasiswa itu kepada Prastiwi.  Agar tidak menjadi beban pikirannya. Setelah itu ia akan melupakannya dan melupakan pertemuan bahkan pertemanan mereka yang sebenarnya sudah mulai terajut. Ia akan pergi ke kampusnya. Alamat jelas sebuah universitas tertera di dalam kartu itu.
Meski sudah empat kali bertemu, namun Prastiwi tak pernah bersedia memberikan nomor telpon rumah atau handphone, juga alamat rumahnya. Alasannya macam-macam. Yang nggak punya telpon, rumahnya jelek, ibunya galak dan nggak suka menerima tamu terutama teman cowoknya.
"Bagaimana kalau nanti diam-diam aku membuntutimu dan tiba-tiba aku sudah berdiri di depan pintu rumahmu keesokan harinya?" tanya Fajar bercanda dengan nada serius.
"Kalau sampai kamu datang ke rumahku tanpa seijinku, maka aku tidak akan mau menemuimu lagi seumur hidupku," jawabnya dengan tegas
Entah kenapa Fajar benar-benar ngeri mendengar ultimatumnya waktu itu. Dan ia benar-benar mematuhi semua larangannya. Waktu itu Fajar pernah memberinya kartu nama. Namun Prastiwi nggak pernah menghubunginya atau memberitahunya bahwa ia sudah berada di suatu tempat, sehingga Fajar bisa menyusulnya dan menemuinya. Kalaupun bisa bertemu dan ngobrol di suatu tempat, bukan karena mareka  janjian ketemu. Itu semua karena unsur ktidaksengajaan.  Jadi jika ingin bertemu, selama berhari-hari dan selama berjam-jam Fajar menunggu di toko buku,  sampai terlihat sekelebat bayangan Prastiwi muncul di hadapannya. Setelah itu, barulah Fajar mengajakknya ke suatu tempat agar mereka bisa ngobrol.
Sebenarnya bisa saja Fajar datang ke rumahnya. Alamat lengkap ada di kartu mahasiswa milik Prastiwi. yang sekarang ada di tangannya itu. Tapi entahlah. Ia mengingat sekali lagi ancamannya bahwa dia tidak akan mau menemuinya seumur hidupnya jika ia datang ke rumahnya tanpa seijinnya. Meski bertekad tidak akan menemuinya lagi, namun di pucuk hatinya ia masih berharap suatu ketika ada sesuatu yang mempertemukan mereka kembali.  (ada terusannya)

>=< >=< >=<

9 September 2011

PERJODOHAN 1# Gadis berambut sebahu

Fajar menikmati wajah di hadapannya itu. Cantik, lembut dan terlihat kekanakan. Matanya bersinar sebagaimana layaknya keceriaan seorang ABG,  memancar tanpa beban kehidupan yang berarti. Bibirnya memerah, asli tanpa polesan lipstik. Wajahnya bersih, putih, mulus tanpa jerawat. Fajar sempat mengira ia pasti pergi ke salon untuk perawatan kulit wajahnya itu. Tapi melihat rambutnya yang tergerai bebas melewati bahunya itu, ia berbalik menentang pendapatnya semula. Kalau orang rajin ke salon, pasti perawatannya meliputi wajah dan rambut. Lha ini rambutnya sekusut tas ransel yang selalu dicangklongnya.
"Apa sih isi tas kamu? Gede sekali?" mulutnya memaksa bertanya begitu kilatan mata gadis itu menyambar ke arahnya dengan tiba-tiba, mungkin sempat memergoki kalau dia tengah memandanginya.
"Tas?"
Fajar manggut, masih menatapnya sambil menunggu jawaban.
"Oh, isinya banyak. Buku kuliah, baju, kaos kaki, pembalut, gunting, pisau lipat, karet gelang, topi, dan banyak lagi,"
"Kamu bawa tiap hari ke kampus barang-barang itu?"
"Iya."
"Aku heran, kamu itu mau minggat apa mau kuliah? Mosok tas kuliah isinya barang-barang begitu?"
Gadis itu tergelak. "Untuk jaga-jaga. Kadang-kadang pulang kuliah aku suka nongkrong di kampus, atau di rumah teman sampai malam untuk mengerjakan tugas.  Kadang-kadang ada laptop juga di tasku ini, punya temanku. Kalau lagi ada tugas kelompok dari dosen, aku yang kebagian ngetik," jelasnya kemudian.
Fajar menggeleng-geleng. "Aku jadi ingat temanku yang suka naik gunung. Gayanya persis kayak kamu itu."
"Oya? Aku juga suka naik gunung," ujarnya kemudian dengan penuh semangat.
"Apa?" Fajar tercengang.
"Kenapa? Kok kamu kaget begitu sih?"
"Kamu naik gunung?"
"Iya.Kenapa? Nggak percaya? Ya, udah, nggak usah dibahas, deh,"
"Prastiwi, serius, nih! Kamu naik gunung?Sama siapa?" wajahnya benar-benar berubah serius.
"Sama teman-temanku, lah! Mosok sendirian? Rame-rame. Kadang-kadang sampai dua puluh orang."
"Apa kamu nggak takut?"
"Takut apa?"
"Jatuh ke jurang, misalnya. Atau digigit ular atau serangga-serangga liar di hutan?"
"Insya Allah, nggak ada apa-apa. Kan, berdoa dulu sebelum berangkat?" jawabnya enteng
"Apa ibumu mengijinkan kamu melakukan kegiatan seperti itu?"
"Keberatan, sih. Dulu suka marah-marah setiap kali aku pamitan naik gunung, tapi lama-lama nggak tuh,"
Fajar nampak tertegun. Ada banyak tanya yang masih mengganjal di pikirannya berhubungan dengan ucapan Prastiwi tentang kegiatan naik gunungnya. Tapi ia menahan lidahnya untuk tidak menanyakan hal-hal yang justru membuatnya takut mendengar jawaban yang bakal dilontarkannya. Apa Prastiwi perokok? Apa dia suka minum-minum juga?  Mengingat bagaimana kegiatan di alam bebas, rasanya kemungkinan-kemungkinan seperti itu begitu dekat dengan kehidupan yang dijalani Prastiwi. Meski hati Fajar membantah keras dugaan itu, namun dalam hati kecilnya terselip kemungkinan sekian persen Prastiwi mengenyam kehidupan gelap seperti itu.
Seorang gadis yang terlihat begitu lugu, manis dan nampak kekanak-kanakan, entah apa yang terjadi dibalik wajah polosnya itu. Fajar mengingat apa yang telah dilakukannya dalam beberapa hari ini. Ia selalu menunggu  hanya untuk menyapanya dan bisa ngobrol lama seperti yang dilakukannya saat ini. Apa ia akan menunggunya lagi pada beberapa hari ke depan? Entahlah. Ia juga mengingat dosa terhadap mamanya. Beberapa kali ia mengelak mempertemukan mamanya dengan cewek di kantornya. Selvi, seorang sekretaris di kantornya itu sudah lama  menjadi pilihan mamanya untuk kelak menjadi pendamping hidupnya. (bersambung)

>=< >=< >=<