22 Mei 2011

1. Nyanyian Gerimis



 Prastiwi berdiri di ambang jendela kamarnya menatap derai gerimis yang jatuh menimpa dedaunan pohon belimbing di luar kamarnya. Butiran bening itu menimpa permukaan daun dan kembali memercik ke udara sebelum akhirnya jatuh ke tanah.  Fenomena alam itu sungguh menyita perhatiannya. Hingga berpuluh menit lamanya ia seolah tenggelam ke arah pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya. Beningnya butir hujan, sejuknya angin, segarnya cipratan titik air yang mengena di kulit lengannya, hijaunya dedaunan. Semua itu bagaikan elusan lembut yang memanjakan seluruh urat syaraf maupun nadi dalam tubuhnya yang dalam beberapa hari ini terasa tegang dan juga lelah.
Dan dering handphone di atas kasur bagai terompet tahun baru yang membangunkan dirinya dari ketermanguan menatap luar jendela kamarnya. Ia menoleh dan dengan sangat enggan bergerak bangkit meraih benda kecil yang meraung-raung menuntut perhatiannya. Ia menatap sejenak ke arah layar bergambar foto dirinya. Sebuah nama tertera di sana, memanggilnya.
“Assalamu’alaikun,” sapanya datar.
“Wa’alaikum salam. Kamu lagi di mana?” sahut di seberang.
“Di rumah.”
“Oh, di rumah? Lagi ngapain?”
“Mmm, belajar,” jawabnya sekenanya.
“Aku akan mampir nanti pulang kantor. Kamu mau dibawakan apa?”
Prastiwi menghela nafas. “Nggak usah lah,” sahutnya enggan. Nggak tertarik sama sekali dengan sesuatu yang berbau oleh-oleh.
“Benar nggak mau dibawakan apa-apa?”
“Iya. Nggak usah,” tegasnya.
“Sayang, kamu lagi marah ya?”
“Enggak. Kenapa marah?”
“Yang benar? Terus kenapa ngomongnya judes dan sepatah-patah begitu?”
“Aku lagi banyak tugas. Sudah, ah!”
“Hei, tuh kan? Benar-benar marah kan? Kenapa sih?”
Dengan gusar Prastiwi memutus percakapan mereka. Baru sebentar hendak di letakkan di atas meja belajarnya handphone itu kembali menyala. Dengan geram Prastiwi mematikan handphone-nya dan menonaktifkannya. Selebihnya ia menyimpan benda kecil itu di laci meja belajarnya.
Ia hendak kembali ke jendela. Tapi diluar sana, keadaan sudah sangat berbeda. Rintik gerimis itu sudah berubah menjadi guyuran air yang sangat deras. Angin juga seolah semarah hatinya. Menyemprotkan air hujan ke arahnya,  menggulung korden jendela dan melemparkannya ke sana kemari, serta memporakporandakan semua yang ada di atas meja belajarnya.
Prastiwi akhirnya menutup jendela, lalu menghempaskan dirinya ke atas kasur. Tangannya meraih buku diktat kuliahnya, mencoba membaca isinya dan melupakan kemarahannya. Namun suara seseorang di dalam telpon tadi itu terus terngiang dan mengusik konsentrasi pikirannya. Ia kangen suara itu. Tapi kenapa tadi menutup handphone? Bahkan menonaktifkan. Bagaimana ia bisa mendengar suara kalem dan lembut itu lagi? Dia mau datang sepulang dari kantor. Jam berapa? Hehh, tumben ingat mau datang. Ia mendesah keras sambil kembali menggerundel.
“Prastiwi, ada telpon dari Fajar,” entah sejak kapan ibunya tiba-tiba muncul di ruang kamarnya. Ia  bahkan sudah berdiri di dekat tempat tidur, sehingga bisa menangkap dengan jelas segala macam bentuk mimik muka putrinya itu.
Prastiwi tidak bisa berkelit lagi. Ia tak mungkin pura-pura tidur atau mengatakan ngantuk, malas mengangkat telpon. Tapi di satu sisi ia juga tak sudi menerima telpon lelaki itu. Ia sedang marah besar. Sekeras apapun ibunya menyuruh ia takkan bergeming dari tempat tidurnya.
“Aku malas bicara dengannya,” ujarnya lemah.
“Kamu sedang marahan sama Fajar?” tanya ibunya heran.
“Pokoknya aku nggak mau nerima telpon dari dia,” sahutnya sambil memiringkan badannya menghadap tembok.
Tidak lama kemudian terasa ibunya pergi dan menutup pintu kamar. Seminggu ini Fajar tidak datang menemuinya, tidak juga menelpon. Nelpon sekali sekitar empat hari yang lalu. Itupun hanya say hello, tanya kabar, lalu udah. Memang sebelumnya ia sudah mengatakan bahwa ia akan sibuk sekali di kantor dalam rangka pembukaan kantor cabang baru perusahaannya di Jakarta beberapa minggu ke depan. Tapi mosok iya, sesibuk-sibuknya orang kerja, nelpon saja nggak sempat sih? Tiga kali Prastiwi mencoba telpon dia ke kantornya. Selalu cewek itu itu saja yang mengangkat. Hesti namanya. Benar-benar menjengkelkan. Karena ia selalu hanya menjawab,”Pak Fajar nggak ada di tempat, Pak Fajar sedang sibuk, Pak Fajar nggak bisa di ganggu, sedang rapat, sedang meeting, sedang ada tamu,” dan sebagainya. Dan yang lebih membuatnya naik darah, waktu ia menelpon ke handphone Fajar, cewek itu lagi yang mengangkat handphone Fajar dan mengatakan dengan kata-kata yang itu-itu juga. Hhhhh! Ia meninjukan kepalannya ke atas bantal dengan sekeras-kerasnya.
Dari luar kamar terdengar ibunya memanggil, menyuruhnya mandi dan sholat. Sholat apa? Ia melihat jam dinding sambil mengingat-ingat apa ia sudah sholat apa dan belum sholat apa. Ia sudah sholat asar tadi. Sholat maghrib? Kayaknya belum. Sekarang jam enam lewat lima belas. Sudah lewat maghrib. Ia bangkit dan pergi ke kamar mandi.
“Kamu nggak mandi?” tegur ibunya begitu melihat cepat sekali ia keluar dari kamar mandi.
“Enggak, ah. Dingin.”
“Fajar mau ke sini, lho!”
“Biar saja. Aku nggak mau menemuinya,” sahutnya dengan hati sekeras batu.
“Kenapa?”
“Malas aku ketemu orang kayak dia. Dia punya pacar lagi di kantor!”
“Ah, mosok, sih?” tukas ibunya sama sekali nggak percaya.
“Nanti kalau dia datang, ibu tanya saja sendiri, siapa cewek yang bernama Hesti itu,” ujarnya ketus lalu masuk ke kamarnya.
Bacaan huruf-huruf Al-Qur’an yang biasa dibacanya selesai usai sholat maghrib dan subuh mengambang akibat linangan air matanya. Ia ingat bagaimana Fajar mulai melupakannya kini. Bukankah mereka akan menikah nantinya? Ibunya dan juga mamanya Fajar sudah sepakat kembali menjodohkan mereka setelah rencana perjodohan yang telah mereka rancang dulu sempat terbengkalai.
Ketidakpedulian Fajar terhadapnya dalam seminggu ini membuat hatinya bimbang. Apa dia benar-benar mencintainya? Apa dia benar-benar sibuk di kantor? Atau itu hanya sekedar alasan untuk menutupi kelakuan busuknya? Ia hanya sibuk pacaran. Bukan sibuk yang lain seperti yang dikatakannya. Uh, cewek bernama Hesti itu, seperti apa dia? Pikirnya. Pasti cantik. Dan ia begitu yakin cewek itu pasti cantik, karena sampai membuat Fajar tergila-gila.
Selesai sholat dan berpasrah diri di hadapan Allah SWT, hatinya mulai merasa tenang. Pikirannya juga terang. Ia kembali merapikan mejanya yang berantakan akibat angin sore tadi. Dan kini ia telah duduk menghadapi diktat di atas meja. Ia nampak larut dalam halaman demi halaman buku yang di tekuninya.
Gerimis masih tersisa di luar sana. Nyanyiannya begitu indah merasuk di dalam telinga. Iramanya syahdu, indah, sangat menentramkan kalbu. Tiap tetes adalah nada tersendiri. Dan ribuan bahkan jutaan nada menyatu dalam lagu semesta yang membuai tiap makhluk di bumi. Adakah yang lebih merdu dari nyanyian gerimis?
“Prastiwi,” suara ibunya kembali memanggilnya, tak lama setelah terdengar derit pintu kamar.
“Ya, Bu,” sahutnya tanpa bergerak. Ia berpikir ibunya akan menyuruhnya makan. Ia masih kenyang. Sore tadi mbok Jum pembantunya menggoreng pisang dan menyuguhkannya di kamarnya bersama teh manis.
Wanita setengah baya itu duduk di tepi tempat tidur, hanya berjarak satu meter dari Prastiwi di meja belajarnya. Ia menatap anak gadisnya dengan penuh kelembutan. “Ada Fajar di depan. Temui sana!” ucapnya mengandung sebuah bujukan khas seorang ibu.
Prastiwi menentang pandangan ibunya. Memohon agar tidak menyuruhnya melakukan hal yang membuatnya makin sakit hati.
“Dia sudah bicara dengan ibu. Hesti itu hanya sekretarisnya. Dan ibu percaya dengan apa yang dia katakan.”
“Kalau memang dia hanya sekretaris,....!.”
“Ssstt, sudah temui dia sana! Bicara sendiri padanya!” tukas ibunya sambil kemudian bangkit.  “Jangan lupa ganti baju!” pesannya sebelum keluar kamar.
Meski kesal toh Prastiwi harus keluar juga, kalau nggak mau mendengar omelan ibunya. Ia tiba di ruang tamu dan menemukan senyuman lembut milik laki-laki yang begitu dirindukannya sekaligus dibencinya itu. Wajah lelahnya menatap penuh sabar ke wajah masamnya.
“Hei,” sapanya hangat, seolah tidak terbebani masalah apapun.
 Prastiwi menatap sedetik, lalu kembali berpaling.
“Mau menemaniku makan? Kamu juga belum makan kan? Yuk!” ajaknya.
Ia menggeleng. Acuh. “Aku sudah makan. Lagi pula aku banyak tugas kuliah,” sahutnya berkilah. Wajahnya acuh tak acuh.
“Ayolah, aku lapar sekali. Aku belum makan dari siang tadi. Sebentar saja,” bujuknya.
“Enggah, ah,” tolaknya.
“Kamu masih marah? Dengar, ya, aku nggak punya hubungan apa-apa dengan cewek bernama Hesti. Dia sekretaris di kantorku. Dia memang cantik. Seksi. Tapi aku berani bersumpah, aku nggak pernah tertarik dengan cewek seperti dia.”
“Bohong!” cetusnya kesal.
“Aku nggak bohong. Lihat mataku. Apa aku seperti orang yang sedang berbohong? Aku hanya tertarik sama kamu. Aku bahkan tertarik sama kamu sejak aku melihatmu pertama kali dulu.”
Prastiwi mendengus, mencibir, tak ingin mempercayai apapun yang dikatakannya.
“Kamu ingat kan waktu kita ketemu di toko buku? Lalu di restoran di dekat alun-alun sana?”
“Ihhh, sudah, ah, aku nggak mau ngomongin itu!” kata Prastiwi menukas dengan jengah.
Fajar terdiam.
“Kalau memang dia bukan apa-apamu, kenapa dia judes sekali waktu bicara ditelpon kepadaku? Dan satu lagi. Waktu aku nelpon ke handphone-mu, kenapa harus dia yang ngangkat? Apa kamu sudah tukeran handphone sama dia? Kamu sudah memberikan handphone kamu kepadanya? Apa handphone-mu sudah jadi milik bersama dengan dia? Jawab! Dan kamu nggak usah bohong lagi!” sergahnya dengan beruntun dan berapi-api.
Fajar menatapnya dengan tercengang. “Apa? Jadi kamu nelpon ke handphone? Kapan?”
“Mana aku ingat? Lihat saja sendiri di handphone-mu!”
Fajar masih nampak heran dengan apa yang didengarnya. “Apa yang dia katakan waktu itu?”
“Nggak tahu. Dia selalu ngomong kalau kamu sibuk, ada tamu, lagi meeting, lagi nggak bisa diganggu. Selalu begitu,” nada suaranya masih terdengar ketus.
“Ya memang tugas dia seperti itu. Dia kan sekretaris?”
“Tapi kenapa harus dia yang mengangkat handphone-mu?! Apa begitu bebasnya dia menggunakan barang-barang pribadimu?”
Fajar terdengar menghela nafas. Ditatapnya gadis yang tengah menanggung luka hati itu dengan senyuman penuh pernyataan maaf. “Mungkin waktu itu handphone tertinggal di dalam ruangan, sementara aku sedang di suatu tempat. Hesti berada di ruanganku waktu handphone berbunyi. Lalu dia mengangkatnya. Bisa jadi begitu kan kronologisnya?”
Prastiwi tidak menyahut. Wajahnya masih saja terlipat.
 “Oke, kalau gitu bagaimana kalau besok aku ajak kamu ke kantorku?” kata Fajar menanggapi ucapan Prastiwi yang pedas dengan tetap tenang.
“Untuk apa ke sana? Untuk melihat kalian bermesraan?”
“Aku nggak pernah bermesraan sama cewek manapun. Aku akan mengenalkan kamu dengan Hesti. Aku ingin meyakinkan bahwa antara aku dan dia nggak ada hubungan apa-apa.”
Prastiwi menatap lekat ke wajah tampan itu. Juga ke arah sepasang mata dalam itu. Perlahan kepalanya tergeleng. Ia ingin mengenyahkan rasa percayanya pada laki-laki itu. Tapi mungkinkah? Apa yang membuatnya tidak mempercayainya? Sementara di satu sisi ia ingin sekali mempercayai dan menghentikan serangannya. Dia rindu pada tatapan sejuk itu, senyuman kalemnya itu. Ia juga rindu bisa ngobrol, berdebat tentang sesuatu bersama laki-laki itu. Tidak mempercayanya adalah sebuah siksaan baginya. Jadi untuk apa ia menyiksa diri?
“Oke, rasanya aku perlu minta maaf.  Maafkan aku! Aku berjanji tidak akan ada kejadian serupa yang bakal terulang. Kau mau memaafkan?”
Sekilas nampak gadis itu mengusap matanya yang berkaca-kaca oleh benturan rasa haru biru yang melingkupi hatinya. Nggak mungkin ia bisa bertahan dengan kemarahannya. Dan api yang membara itu padam sudah oleh tetasan ucapan maaf yang tulus dari seorang Fajar. Betapa inginnya ia segera beranjak dan menghambur ke pelukan laki-laki itu. Kalau tidak ingat ibunya yang tiba-tiba bisa keluar dan melihat adegan mesra mereka.
“Jangan marah lagi.” Ia memintanya dengan sangat. “Aku tidak akan bisa tidur memikirkan kemarahanmu ini. Aku juga tidak bisa konsentrasi mengerjakan pekerjaan di kantor. Padahal pekerjaanku banyak banget.”
Mudah-mudahan bukan karena usia belianya Fajar memanfaatkan rasa percayanya yang begitu cepat pulih. Prastiwi masih menatapnya dengan penuh harap. Usia mereka memang terpaut lebih dari sepuluh tahun. Tapi Prastiwi tulus mencintainya. Bukan semata-mata untuk  menyenangkan hati ibunya karena sebuah rencana perjodahan. Bukan. Ia mencintai Fajar tulus dari hatinya yang paling dalam. Ia rela menerima Fajar apa adanya dan berjanji akan menemaninya sampai ia mati.
                                              
[ bersambung...]