23 September 2011

PERJODOHAN # 6 : Cerita tentang Perjodohan


Meski gerah mendengarkan cercaan mamanya tentang Prastiwi, namun Fajar tetap membuntuti mamanya hingga keluar kamarnya menuju ruang tengah. Dan siap mendengarkan cercaan berikutnya.Sebenarnya ia hanya khawatir dengan kemarahannya itu. Mamanya diam mematung menghadap jendela besar yang ada di ruangan itu hingga beberapa lama.
"Aku berniat tidak akan menemuinya. .Mama percaya sama aku, kan? Kalaupun aku menemuinya, itu hanya  untuk memberikan kartu mahasiswanya," kata Fajar membuka suara.
"Sudah, buang saja ke ke got kartu mahasiswanya itu!" sahut mama kesal.
"Jangan, Ma, kasihan, kartu mahasiswa itu penting untuknya. Setidaknya untuk mengikuti kegiatan atau menggunakan fasilitas di kampusnya, ia perlu kartu mahasiswa itu. Kelihatannya dia itu juga golongan orang menengah. Orangnya sederhana tapi semangat belajarnya tinggi. Dia juga pintar...'
''cukup, Jar!" tukas mamanya dengan berseru. "Mama tahu siapa dia. Latar belakangnya seperti apa juga mama tahu. Orang tuanya, keluarganya, semuanya!"
"Jadi mama kenal dengan Prastiwi?" Fajar nampak tercengang. Bingung menerka-nerka dari mana cara mamanya bisa mengenal Prastiwi.
Tubuh langsing itu berbalik membelakangi jendela. Fajar kini bisa melihat dengan jelas wajah mamanya yang terlihat  menegang. Bibirnya bergetar seperti ingin berkata-kata tapi susah mengeluarkannya. Tangannya mencengkeram sandaran sofa, seolah khawatir tubuhnya tiba-tiba limbung ke lantai. Fajar mengambil tangannya dan membimbingnya menuju sofa. Mereka duduk berhadapan. Dan Fajar menunggu cerita mamanya tentang Prastiwi dengan sabar sekaligus penasaran.
"Ibunya teman baik mama tadinya. Ayahnya juga sahabat papamu. bahkan mbah kakungnya adalah teman eyangmu waktu itu," ujarnya mulai  menguasai diri.
Fajar tertegun mendengar penuturan itu. Ibunya Prastiwi teman mamanya. Ayahnya Prastiwi sahabat papanya. Bahkan kakeknya adalah teman eyangnya pula. Kalau begitu bukankah seharusnya hubungan dua keluarga itu akrab dan harmonis? Tapi kenapa mamanya sangat membenci Prastiwi, anak teman baiknya? Kalaupun tidak menyetujui atau khawatir ada hubungan istimewa antara dia dan Prastiwi, tapi kenapa mamanya harus semurka itu tiap kali mendengar ia menyebut tentang Prastiwi? Ada apa sebenarnya?
"Ma," sehalus mungkin Fajar berusaha menyadarkan mamanya."Apa benar Prastiwi yang mama maksud sama orangnya dengan yang di kartu tadi?"
"Tentu saja. Alamatnya jelas!" sahutnya kembali melecut.
"Mama tahu rumahnya? Maksudku pernah ke rumahnya?" tanyanya gagap. Ia bingung dengan apa yang hendak ia tanyakan. Banyak sekali tanya yang berimpitan di ruang oataknya dan ia harus mengeluarkannya satu persatu." Ma, masalahnya aku nggak tahu kenapa mama bisa benci sekali pada Prastiwi."
"Karena dia orang yang ingin menghancurkan masa depanmu. Dia juga pasti akan menghalangi rencana mama untuk menjodohkanmu dengan Selvi."
"Bukan. Bukan itu masalahnya. Aku tahu, Ma. Ada masalah apa antara keluarga kita dan keluarga Prastiwi? Apa mama, papa atau eyang pernah berselisih tentang suatu hal dengan pihak keluarga Prastiwi?"
Mata mama menatap nanar ke wajah putranya, lalu bergeser pedih ke arah dinding putih dan melesak keluar jendela. Di sanalah, jawaban dari pertanyaan Fajar tergambar. Sebuah kejadian besar yang sempat membuat dia dan keluarganya merasa bagaikan manusia terhina dan tak berharga sama sekali. Penolakan atas perjodohan antara Fajar dan Prastiwi sekitar satu setengah tahun yang lalu itu membuatnya syok berat. Bahkan hingga saat inipun sayatan penghinaan itu masih terasa perih dan seolah masih berdarah saat ada yang mengungkitnya seperti sekarang ini..
Fajar terpana hingga beberapa saat. "Jadi mama dan papa waktu itu menjodohkan aku dengan Prastiwi?!" tanya Fajar baru mengerti. Hatinya tiba-tiba merasa getir.
"Ya," sahut mamanya dengan getir pula dan nyaris tak terdengar. Ia menatap putranya dengan penuh rasa sesal sekaligus iba. "Pihak keluarga Prastiwi tiba-tiba menolak justru saat mama dan papa datang untuk melamar? Padahal kesepakatan sudah dibicarakan dan diputuskan dengan matang oleh keluarga kita maupun keluarga Prastiwi?"
Fajar terpaku di tempatnya. Pandangannya menerawang, seolah menyaksikan kembali rekaman kejadian setahun silam. Ia ingat waktu mamanya mengatakan bahwa ia sudah dijodohkan dengan seseorang. Dan Fajar hanya menurut saja waktu itu. Kalaupun harus menikah saat itu juga, ia sudah menyerahkan segala urasan pernikahan kepada mamanya. Kesibukan di tempat kerjanya sungguh tak sempat membuatnya berpikir untuk menolak seseorang yang sudah dijodohkan dengannya. Ia percaya, mama dan papanya akan memilihkan seseorang yang terbaik untuknya. Tapi mendadak ia mendengar berita bahwa perjodohan itu dibatalkan karena pihak cewek yang dijodohkan dengannya tiba-tiba menolak rencana perjodohan tersebut, Waktu itu memang tidak ada yang ia rasakan, apalagi merasa terhina seperti halnya mamanya. Hatinya benar-benar tawar. Tidak merasakan kesedihan ataupun kebahagiaan dengan kejadian itu. Entah apa yang dipikirkannya. Ia tidak mengenal calon pinangannya. Tahu wajahnya seperti apa juga enggak. Yang ia tahu ia harus menuruti mamanya. Menikah. Titik.
"Sebenarnya mama tidak ingin mengingat-ingat hal itu lagi. Terlalu sakit saat mengingatnya," Terdengar kembali suara mamanya diantara desah sedihnya "Kamu cukup tahu saja bagaimana kamu bersikap di hadapan gadis tidak tahu diri itu.  Saat ini, tidak ada maksud lain dalam dirinya selain hanya ingin menghancurkanmu untuk kedua kalinya. Dia hanya akan mempermainkan perasaanmu, Fajar. Ingat itu!"
"Ya, Ma," sahut Fajar lirih.

>=< >=< >=<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar