17 September 2011

PERJODOHAN #5 : Kegusaran sang mama


 Mungkin ada baiknya kalau ia berterus-terang pada mamanya kalau ia tidak pernah mencintai Selvi. Lalu? Ia menarik nafas berat. Dipandangi foto dalam kertas berlaminating itu. Begitu bening wajahnya. Nyaris bagai bocah yang tak tersentuh dengan urusan dosa. Kalau saja ia tidak terburu-buru mengatakan tentang sisi buruknya waktu itu, mungkin Fajar sudah akan membawanya ke rumahnya. Gadis yang nampak lugu, cantik dan pintar tentu saja itu akan diperkenalkan dengan mamanya sebagai calon istrinya. Apa kira-kira komentar mamanya? Apa mamanya akan menyukainya dan mengagung-agungkannya sebagai mana terhadap Selvi?
Dan Prastiwi. Apa ia bersedia menjadii calon istrinya? Atau setidaknya menjadi pacar. Dia masih begitu belia. Rasanya sulit memastikan dia bakal bersedia menikah di usianya yang sekarang. Di mana dia masih suka bersenang-senang dan berkumpul bersama teman-temannya. Sembilan puluh persen Fajar yakin isi hati gadis itu. Dari matanya yang bersinar kala tiba-tiba bertemu, dari pendar bola matanya kala diam-diam terperangkap tengah memandanginya. Meski belum pernah memegang tangannya, ia juga yakin jemari mungilnya itu pasti terasa dingin dan hatinya berdebar tak menentu manakala menunggu detik-detik pertemuan mereka.
Prastiwi menyukainya. Tentu saja. Siapa yang tidak mau punya pacar kayak dia? Seorang ibu pasti tidak keberatan bila anak gadisnya punya hubungan khusus dengannya. Minimal karena dia punya masa depan dan bukan seorang pengangguran. Lagi pula Fajar juga lumayan ganteng, punya penghasilan lumayan, dan punya jabatan di sebuah perusahaan yang cukup besar.
Seperti dia juga menyukai gadis itu. Beberapa hari yang lalu perasaan itu tidak seyakin saat ini. Begitu ia memutuskan tidak akan menemuinya, seolah ada bagian di dalam kalbunya  yang memberontak dan menolak keputusan besar itu. Bahkan saat ini ia sudah mulai kangen. Sudah seminggu mereka tidak bertemu.
Entah apa yang terjadi dalam dirinya. Ia dipenuhi perasaan aneh berkaitan dengan gadis bernama Prastiwi. Semakin ingin dihapus dari ingatnnya, semakin kuat bayangannya itu melekat dalam benaknya.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu mamanya sudah berada di ruang kamarnya. Berdiri tepat di samping kursinya, tempat ia duduk melamun. Ia kaget. Tapi sadar nggak ada yang bisa ia sembunyikan dari mamanya. Kartu mahasiswa itu dalam beberapa saat sudah berpindah tangan.
"Siapa dia?" tanya mamanya langsung.
"Teman, Ma.Ini kartu mahasiswa punyanya terjatuh dijalan. Aku akan mengembalikannya."
"Siapa namanya?" tanya mamanya dengan penasaran Ia seperti nggak punya kemampuan membaca huruf -huruf yang tercantum di dalam kartu mahasiswa yang di pegangnya dan di letakkan di dekat wajahnya. Matanya mengeriyip berusaha mengeja tulisan dengan lebih jelas.
"Mama baca sendiri, kan? Namanya Prastiwi. Gimana pendapat mama? Dia cantik, kan?"
"Cewek kayak begini ?!"tiba-tiba terdengar serentetan letusan dari mulut wanita cantik itu.
Fajar tercekat. "Tenang saja, ma. Aku hanya bercanda, kok."
 Fajar seolah memahami maksud kegusaran mamanya. Tentu saja gadis pilihannya tidak akan mau disamakan dengan gadis manapun. Pilihan mamanya bulat, Selvi. Dan tidak ada yang lain selain Selvi.
"Kamu benar-benar keterlaluan!"Sekali sentak, kartu kecil berlaminating itu terhempas ke meja Fajar.
"Kenapa mama marah-marah begitu, sih? Demi Allah, Ma, aku dan Prastiwi hanya berteman. Memang kami pernah bertemu beberapa kali. Tapi kami nggak ada hubungan apa-apa," jelasnya.
"Mama minta kamu jangan menemui cewek itu lagi! Mama tahu siapa dia."
Bagaimana mungkin mama bisa tahu seseorang hanya dalam waktu sekejap dan dengan melihat gambarnya yang berukuran kecil di sebuah kartu mahasiswa? Fajar hampir tersenym mengingat hal itu. Perlahan tangannya meraih lengan mamanya. Dielusnya lengan yang mulai terlihat kendor itu dielusnya dengan lembut, sekedar menghiburnya sekaligus meyakinkannya bahwa ia akan melakukan apapun yang diperintahkannya.

>=< >=< >=<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar