26 Oktober 2011

Tamu untuk Handini

Handini menggerutu panjang lebar ketika ibunya memintanya membuatkan opor ayam guna menyambut tamu yang bakal datang ke rumah mereka. Tamu siapa, masa bodoh.  Ia akan cepat mengerjakan perintah yang tak bisa ia tolak itu karena tugas kuliah juga menunggu diselesaikannya hari itu juga. Kadang ia kesal pada ibunya. Ibunya punya dua anak perempuan. Tapi dari dulu selalu dirinya yang jadi tumpuan pekerjaan-pekerjaan di seputar dapur. Memasak, membuat kue-kue lebaran, belanja hingga membuat hidangan arisan, dan sebaginya. Kenapa bukan kakaknya? Lestari kan anak perempuan juga? Kenapa dia cuma disuruh untuk hal-hal enteng seperti menyapu dan membereskan rumah?

"Mbakyumu itu nggak bisa masak. Tapi malas kalau disuruh belajar masak. Biar saja nanti dia menyesal kalau sudah berumah tangga!" sahut ibunya menanggapi protes keras Handini tentang ketidakadilan yang selingkali dilontarkannya itu. Kakaknya itu memang paling anti kalau disuruh turun ke dapur. Dia hanya datang untuk mencicipi dan mengomentari masakan-masakan yang selesai dimasak.Tapi ada kalanya ia menawarkan diri untuk mencuci alat-alat masak yang kotor bekas dipakai memasak. Dan anehnya, ketika ia sudah menikah  lebih dari setahun lamanya, keinginannya untuk belajar memasak tak kunjung datang. Ketika ibu dan adiknya tengah repot di dapur, tetap saja ia hadir untuk sekedar menjadi tukang icip.

Ternyata banyak yang harus dikerjakan. Ibunya membuat masakan gudeg komplit yang meliputi gudeg, opor ayam dan sambal goreng kentang yang dicampur ati sapi dan krecek serta kacang merah. Ketika opor sudah matang, tak tega Handini membiarkan ibunya berkutat sendirian menyelesaikan masakan lainnya. Mau nggak mau ia mengambil alih masakan yang berikutnya. Diambilnya cobek untuk membuat bumbu sambal goreng. Tanpa didikte ia sudah hapal diluar kepala tentang bumbu-bumbu yang harus diulegnya dan seberapa banyak yang harus diambilnya.

Semua hidangan sudah tertata rapi di meja makan. Serbet makan, air putih dan buah sudah siap pula semuanya. Tinggal menunggu tamu yang kata Ibunya akan datang sekitar sejam lagi. Handini pergi ke kamar mandi ketika dirasa tidak ada lagi yang harus dikerjakannya.Ia mengguyur sekujur tubuhnya dan juga mengeramasi rambutnya yang baunya na'udzubillah. Ia tidak akan bisa konsentrasi belajar dengan rambut kotor dan bau masakan bercampur keringat begitu.

"Kayaknya aku nggak usah ikut menemui tamunya, Bu. Ada mbak Lestari, kan? Aku mau belajar. Aku juga  ada tugas yang harus dikumpulkan besok di kampus," kata Handini begitu keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengan ibunya di ruang makan.

"Eh, nggak menemui bagaimana? Justru kamu yang harus menemui tamunya. Cepat keringkan rambutmu dan ganti baju sana!" perintah ibunya tidak mau mendengar alasan apapun dari Handini untuk tidak menemui tamunya malam ini.

"Huuhh, Ibu ini! Pokoknya aku mau belajar!" serunya sambil menutup pintu dengan keras. Kayaknya dengan cara membanting pintu hingga terdengar dentuman keras memenuhi seisi rumah baru ibunya bisa menyadari bahwa kuliahnya jauh lebih penting ketimbang menemui bekas teman lama ibunya di ruang tamu sana.

Dengan rambut yang masih awut-awutan, Handini langsung menuju meja belajarnya. Ia meraih sebuah buku dan mulai membuka di bagian yang telah diberi tanda dengan kertas pembatas. Ia membaca beberapa baris hingga satu setengah halaman, ketika mendengar panggilan ibunya di luar kamar.

"Astaghfirullah hal adhim! Din, kenapa kamu belum ganti baju? Dan rambutmu, masya Allah!" seru ibunya ketika membuka pintu kamar.

"Kan, aku sudah bilang aku mau belajar? Tolong, Ibu, aku mohon, aku ada tugas penting yang harus dikumpulkan besok di kampus. Kalau aku nggak mengumpulakn tugas itu besok, aku nggak bisa ikut ujian semesteran. Nanti kalau IP-ku jelek Ibu juga akan ngomel-ngomel, kan?"

"Ada yang ingin ibu bicarakan." Ibu  berkata dengan nada serius. Handini meninggalkan bukunya dan mengalihkan perhatiannya sejenak ke arah ibunya yang telah duduk di pinggir tempat tidurnya, tepat di samping meja belajarnya. "Maaf kalau Ibu nggak mengatakan kepadamu sebelumnya. Ini tentang wasiat bapakmu yang ingin menjodohkan kamu dengan anak dari teman ibu yang akan datang malam ini."

Handini tercengang, terperangah, lalu tertegun. "Ibu menjodohkan aku dengan anak teman Ibu?" Ingin ia tertawa. Menertawakan ibunya yang punya pikiran sekuno orang tua Siti Nurbaya. Ini jaman  facebook, twitter, dan sebaginya. Bahkan di tengah belantarapun orang bisa mendapatkan jodoh lewat sebuah akun.
Tapi lihat apa yang dilakukan ibunya. Dia seolah-olah khawatir banget anak gadisnya tidak mampu mencari pacar sendiri di tengah-tengah kesibukannya kuliah.

"Ibu tidak memaksa kamu harus menerimanya. Tapi paling tidak Ibu ingin kamu menemuinya sekali ini saja. Ini semata-mata untuk menjaga hubungan persahabatan antara Ibu dan teman Ibu. Mereka sudah datang. Tolong kamu segera ganti baju dan keluar menemui mereka," perintah itu begitu menyebalkan. Namun Handini nggak kuasa membantah. Yach, demi ibunya ia akan menemui tamu di ruang tamu sana cukup hanya sekali saja seumur hidupnya. Tekadnya sambil bangkit dari meja belajarnya.

Seorang wanita berwajah cantik dan ramah mengingatkannya pada seorang artis penyanyi pada jaman dulu. Entah siapa namanya ia lupa. Handini meletakkan cangkir-cangkir berisi teh manis hangat di atas meja lalu menyalami tangan wanita itu seraya mencium tangannya dengan penuh hormat. Dan seseorang di sebelahnya adalah lelaki muda bertampang kalem dan memiliki senyuman yang hangat serta tatap mata yang lembut memikat. Handini terpana, namun sesaat grogi menyadari keterpikatannya pada laki-laki itu. Ada yang aneh yang menjalar dalam tubuhnya manakala telapak tangan mereka bertautan.

Jadi cowok ini yang akan dijodohkan denganku? Gumam hatinya bergemuruh penuh sorak sorai  menyadari kehadiaran cowok ganteng di hadapannya. Senyumnya benar-benar menakjubkan dan matanya yang berkaca mata itu benar-benar lembut dan menyejukkan kala menatap ke arahnya.Tugas kuliah lepas dari ingatannya. Ujian semesteran dan ancaman IP jeblok sama sekali tidak mengusiknya.Ia terus mengobrol dan sesekali menimpali candaan Aldi sambil kemudian tergelak. Aldi juga tertawa. Hanya dalam waktu singkat keduanya telah begitu akrab. Tidak ada canggung, tidak ada sikap basa-basi. Semua mengalir dengan semestinya. Bagai aliran air sungai yang jernih dan menyegarkan.

Ketika tamunya sudah pulang, ia segera masuk ke kamarnya.  Ia telah duduk di meja belajarnya selama berpuluh menit lamanya. Namun begitu ia tak kunjung menyentuh tugas kuliahnya. Bahkan deretan huruf dalam diktat kuliahnya pun tak sanggup dicernanya. Otaknya tak bergerak, tak berfungsi. Isi kepalanya hanya berisi wajah Aldi dan kalimat-kalimat yang diucapkannya saat berada berdua di ruang tamu. "Benar kamu yang memasak opor tadi? Hebat banget kamu masuk kuliah lewat PMDK? IP kamu tiga koma? Ck ck ck ck!" Dan banyak lagi pujian-pujian yang sempat membuatnya gerah dan risih.

Ketika raganya mulai dilingkupi rasa letih, ingatannya akan Aldi dan mamanya kian mengendur. Iapun merangkak lelah menuju tempat tidur seraya menyerahkan dirinya pada rasa kantuk yang kian menguasainya. Matanya terpejam merapat. Dan beberapa detik menjelang lelap merenggut, ia tergeragap bangun. Ia mengingat tugas kuliah yang belum sedikitpun dikerjakannya. Ia ingin bangkit  dan kembali menuju meja belajarnya, namun beberapa detik kembali tubuh lunglainya terpuruk ke atas kasur. "Besok pagi-pagi saja aku bangun," gumamnya seraya menarik selimut dan dalam sesaat langsung terlelap. (tamat).

25 Oktober 2011

Cinta Semerah Mawar

(Cerpen ini aku buat dalam rangka ulang tahun DIMPA - Divisi Mahasiswa Pecinta Alam UMM ke-28. Cerita ini hanya fiktif, dan berlatar belakang tentang kehidupan anggota pecinta alam yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan oleh orang terdekatnya. VIVA DIMPA.)


Irfan membaca status facebook  yang bermunculan di layar  komputernya. Matanya berhenti pada sosok dalam sebuah foto profile. Cewek manis dengan jilbab bermotif  dan berumbai di sana sini. Wajahnya memang tidak berubah. Tetap cantik dan ceria. Hanya bedanya sekarang nampak lebih dewasa. Dan  pakai jilbab. Kalau dulu boro-boro.Namanya juga anak pecinta alam? Penampilannya ala kadarnya. Kaos plus jaket , atau kemeja lengan panjang berbahan flanel dan jins belel yang kadang-kadang terlihat bolong di dengkul atau di paha.  Rambutnya yang melewati bahupun dibiarkan tergerai bebas tak beraturan, atau asal diikat semaunya. Dia sedikitpun tidak memikirkan penampilan. Tidak seperti teman-teman cewek yang lain yang dengan heboh berdandan ketika datang ke kampus.

Hubungan mereka waktu itu sangat dekat, meski tidak sampai tahap pacaran. Hampir memasuki gerbang pacaran, namun karena sesuatu hal, perasaan yang penuh bunga itu bagai tak ada  lagi wanginya dan kehilangan warna cerahnya. Entah apa yang mereka perdebatkan waktu itu. Skripsi adalah satu alasan tepat untuk menciptakan jarak di hati yang mulai merasakan kehambaran dan keasingan satu dengan yang lain. Dan setelah itu keduanya mencuat, melejit, dan mencapi garis takdir masing-masing. Irfan sempat mencarinya ketika wisuda. Tapi ia tidak menemukannya. Dalam buku daftar peserta wisuda ada tertulis nama Heidi Kusumawardani. Tapi di mana dia? Kemudian dari salah seorang teman, Irfan mendapatkan informasi tentang keberadaan Heidi. Dia sedang naik gunung!

Menggelegak hati Irfan oleh kemarahan. Benar-benar sakit jiwa. Geramnya sembari mengepal-ngepalkan tinjunya dengan keras. Entah siapa yang akan menjadi sasaran tonjokannya. Wisuda adalah hari yang bersejarah bagi semua mahasiswa. Tapi Heidi? Tidakkah dia itu ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah susah payah membiayainya kuliah? Meski hanya sekedar foto bersama dengan mengenakan toga, sebagai bukti atau pun kenang-kenangan bahwa ia pernah mengenyam pendidikan di sebuah universitas. Lalu apa yang dilakukannya di puncak gunung? Apa ia membawa toganya ke puncak gunung, dan berfoto bersama teman-teman gebleknya?!

Heidi tidak pernah ingin jadi guru seperti keinginan orang tuanya. Jadi menurutnya kalau ia kuliah itu bukan untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya. Tidak masalah ia akan mbolos kuliah sampai berhari-hari hanya untuk urusan naik gunung.  "Yang penting IP-ku bagus!" sahutnya cuek menanggapi teguran Irfan setiap kali melihatnya menenteng tas ransel berisi perlengkapan naik gunung.

Tujuh tahun berlalu. Dalam usianya yang sekarang adalah titik akhir ia harus mengakhiri masa lajangnya. Itu prinsipnya sejak dulu kala. Tapi dengan siapa ia akan menikah? Sekali lagi ia menatap foto profile di dalam layar monitornya. Hanya Heidi yang sejak dulu ia impi-impikan untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi ke mana dia? Tidak ada info jelas di kota mana keberadaannya saat ini. Hanya  email. Apa ia masih di rumahnya yang dulu? Dia masih berada di kota ini?

Kepalanya tergeleng pelan membantah tanya dalam hatinya. Mustahil ia betah tinggal di kota kelahirannya selama berpuluh tahun. Yang ada juga dia pasti sudah keliling ke berbagai pulau atau bahkan sudah terbang ke negara lain. Bukankah itu cita-citanya? Ia ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Dan nggak bakal kembali lagi. Irfan ingat Heidi mengatakan hal itu karena marah dengan bapaknya. Karena bapaknya selalu mengatur-ngatur  dan memaksakan sesuatu untuk kehidupan dan masa depannya. Termasuk ketika ia harus kuliah di IKIP dan jadi guru.

Dengan keberanian yang tidak utuh sama sekali ia pergi membawa mobilnya menuju rumah Heidi. Seribu satu harapan memenuhi hatinya. Dan seribu satu pikiran buruk menguasai pikirannya pula. Namun rasa cemas, gelisah dan kalut itu tergerus oleh rasa penasaran disamping rindu yang meletup lemah di dasar hatinya. Apakah Heidi masih tinggal di rumah orang tuanya? Filingnya ia ada di sana. Namun apa ia masih mengingatnya? Tentu. Mustahil ia lupa lelaki bernama Irfan. Lalu, apa dia sudah menikah? Oh, ia tak yakin dengan jawaban hatinya. Mungkin dia sudah menikah. tapi demi Tuhan, Irfan sungguh berharap mendapat sebuah keajaiban bisa menemui Heidi saat ini dalam keadaan masih perawan suci.

"Oh, teman kuliahnya yang dulu itu, ya? Iya, Heidi masih tinggal di sini. Tapi dia sedang menjemput anak-anaknya yang sekolah TK di jalan sebelum arah ke pasar. Tahu,kan? Nggak jauh, kok dari sini." Irfan sempat termangu mendengar ucapan ibunya yang kelihatan masih awet muda itu. Masih tinggal di sini. Tapi sedang menjemput anak-anaknya. Oh, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, desahnya serasa ingin bersandar atas rasa putus asa yang tengah melandanya. jadi Heidi sudah menikah dan punya anak-anak? berapa anaknya? Ibunya bilang anak-anak. berarti anaknya dua, tiga atau empat. Tapi demi rasa penasaran ia tetap akan menemuinya. Ia berpamitan lalu meninggalkan rumah penuh tanaman hijau itu.

Di depan sebuah sekolah TK, nampak sosok langsing itu dengan mengenakan setelan blazer dan celana panjang serta berkerudung warna yang senada. Tidak seperti ibu-ibu lainnya yang bergerombol mengerumpi. Heidi nampak menyendiri dan sibuk dengan blackberry di tangannya. Irfan turun dari mobilnya dan perlahan melangkah ke arahnya.

"Heidi," panggilnya dengan suara bergetar oleh kerinduan yang menggumpal-gumpal bagaikan awan putih yang bergerombol di langit. Kalau  saja Heidi belum menikah mungkin ia akan memeluknya. Tapi ia tak mungkin melakukan hal sengawur itu. Bahkan untuk sekedar menyalaminya saja ia tak punya keinginan. Dilihatnya perempuan itu terpana hingga beberapa saat oleh kehadirannya. Dan keterkejutan itu akhirnya ditutupnya dengan ulasan senyuman yang manis namun berwibawa.

"Irfan," gumamnya perlahan sambil tak putus menatap lelaki di hadapannya. Ia juga tak menyentuh atau mengguncang lengannya seperti dulu. Apa karena statusnya yang sudah menikah atau karena mengira Irfan juga sudah menikah pula? Entahlah.

"Aku tadi ke rumahmu. Kata ibumu kamu menjemput anak-anakmu di sekolah ini. Jadi aku ke sini.," ucapnya setelah sekilas berbasa basi menanyakan kabar.  Irfan menyadari jauhnya perbedaan penampilan Heidi dengan ibu-ibu penjemput lainnya. Nggak mungkin sehari-harinya Heidi mengenakan pakaian seformil itu hanya untuk menjemput anak sekolah. kecuali dia..."Kamu kerja? Kerja di mana?"

"Aku mengajar," jawabnya sambil tersenyum sementara matanya menatap Irfan, seolah menunggu reaksi  keras yang bakal ditunjukkannya. "Aku jadi dosen di universitas swasta. Iya, aku dulu memang menolak jadi guru, tapi kenyataannya aku malah jadi dosen. Nggak tahu, mungkin sudah takdir aku harus mengikuti jejak  profesi bapakku. Dan agaknya aku nggak bisa keluar dari jalur takdirku itu," tawanya renyah tersembur. "Aku juga ingin pergi dari tempat ini. Aku sempat ke Australi, tapi hanya beberapa tahun untuk menyelesaikan S2-ku. Setelah itu aku mau nggak mau kembali ke sini."

"Kamu sudah S2? Di Australi lagi!" seru Irfan takjub. Kepalanya menggeleng-geleng heran bercampur kagum.

Heidi mengibaskan tangannya ke udara. "Alhamdulillah, aku dapat beasiswa dari tempatku mengajar. Kalau dengan biaya sendiri mana mampu?"

"Suamimu anak pecinta alam yang sering mengajakmu naik gunung dulu itu?" tanya Irfan menekan nada getir  sekaligus ketus dalam kalimatnya. Ia menatap wajah cantik itu dengan tajam hingga seolah menembus ke jantungnya untuk mendengar jawabannya.

"Gila, anak pecinta alam siapa? Aku belum menikah."

"Kamu belum menikah? Lalu anak-anakmu?"

Heidi menghela nafas. "Aku mengadopsi anak itu dari bayi. Dua bocah kembar itu ditinggal begitu saja oleh ibunya selesai dia melahirkan di sebuah klinik bersalin milik teman ibuku. Begitu melihatnya aku langsung jatuh cinta. Lalu kubawa mereka ke rumah. Aku merawatnya bersama ibuku selama empat tahun ini." Heidi lalu menatapnya pula dengan lebih seksama."Kamu sendiri?"

"Yach, beginilah keadaanku. Tidak ada cewek yang mau menikah dengan lelaki seperti aku ini."

"Kasihan banget kamu? Jadi cewek-cewek Senat yang kamu bangga-banggakan dulu itu sudah mencampakkanmu?" ejeknya tanpa ampun.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku bersyukur kamu masih mau menungguku."

"Jangan ge-er!" sergahnya seketika.

"Menikahlah denganku," pintanya dengan tatapan penuh permohonan.

Heidi tertawa. "Begitu menikah, kamu seketika akan jadi seorang bapak dari dua orang anak. Apakah kamu sanggup menanggung beban mereka itu?"

"Tentu saja. Kalau kamu saja sendirian sanggup menanggungnya, kenapa aku tidak?"

"Kamu serius?" tanya Heidi dengan ragu.

"Aku sungguh sayang sama kamu, Heidi, dari dulu hingga sekarang. Dan aku juga akan menyayangi anak-anak itu pastinya."

"Oke, kalau gitu ajak orang tuamu ke rumahku untuk menemui ibuku."

Irfan mengambil tangannya untuk menggenggamnya. Namun sesaat tangan itu terlepas  manakala rombongan bocah-bocah mungil dan lucu serta berseragam keluar dari pintu gerbang. Dan sepasang diantaranya menemui Heidi serta menatap penuh tanya pada lelaki di dekatnya. Heidi memperkenalkan mereka pada Irfan. dan dalam beberapa saat nampak Irfan membopong salah satu anak itu menuju mobilnya. Dan Heidi membawa satunya lagi membuntuti di belakangnya. (Tamat)