11 September 2011

PERJODOHAN #2 : Kartu mahasiswa


 Fajar menatap kertas berlaminating berukuran sedikit lebih besar ketimbang ukuran KTP. Di dalamnya terdapat sebuah foto milik seseorang berwajah imut, seumuran anak sekolah, lalu data lengkap tentang keberadaannya di dalam sebuah kampus universitas. Nama lengkap, tahun angkatan, fakultas, jurusan, juga alamat lengkap tempat tinggalnya.
"Maaf, aku mau pulang sekarang. Masalahnya aku belum sholat asyar," pamit Prastiwi sore itu. Karena terburu-buru, ia sampai nggak terasa meninggalkan kartu mahasiswanya tercecer di meja.
Fajar memungutnya dan menyimpannya hingga sekarang. Sebenarnya ia sudah tidak berpikir untuk menemuinya sejak mendengar penuturannya tentang kegiatannya di pecinta alam. Tapi karena kartu mahasiswa itu, ia merasa terikat untuk menemuinya sekali lagi, hanya sekedar untuk mengembalikan kartu mahasiswa itu. Kasihan, dia pasti mencarinya ke mana-mana dan tidak bisa bebas menggunakan fasilitas kampus tanpa memegang kartu mahasiswa di tangannya.
Kenapa ia suka naik gunung? Gumam batinnya mendesah. Sayang sekali. Anak secantik  dan selugu itu harus salah memilih lingkungan dalam pergaulannya. Tapi, apa ia seburam praduganya? Bahwa seorang anggota pecinta alam pastinya menjadi black list bagi sebagian besar mahasiswa, bahkan para dosen? Dikarenakan sikap urakan dan penampilan nyeleneh mereka. Dulu sewaktu masih mahasiswa, ia kenal  salah seorang  teman cewek yang menjadi anggota pecinta alam. Dia perokok, peminum dan ikut-ikutan menghisap ganja karena pacarnya juga pemakai narkoba. Dan mereka terlibat seks bebas meski akhirnya menikah  dengan resmi begitu mereka lulus kuliah.
Apa Prastiwi seperti itu juga? Fajar begitu resah dan miris  memikirkan satu kemungkinan itu. Meski ia mengaku sholat, seperti pamitnya sore itu. Ia mau pulang karena belum sholat asyar. Apa berarti seorang Prastiwi sebuah pengecualian? Tidak semua orang yang aktif di pecinta alam dan suka naik gunung pasti kehidupannya akan sehitam air comberan. Tapi benarkah? Ia belum pernah bertemu dengan seorang pecinta alam dalam pengecualian sebagaimana yang dikhayalkan Fajar dalam diri Prastiwi. Kepalanya tergeleng beberapa kali. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Teriak hatinya sekencangnya. Tidak mungkin ia akan jatuh cinta dengan gadis seperti itu. Tidak mungkin ia akan membawa gadis bandel ke hadapan mamanya, lalu mengatakan bahwa ini adalah calon istrinya.
Fajar bertekad mengembalikan kartu mahasiswa itu kepada Prastiwi.  Agar tidak menjadi beban pikirannya. Setelah itu ia akan melupakannya dan melupakan pertemuan bahkan pertemanan mereka yang sebenarnya sudah mulai terajut. Ia akan pergi ke kampusnya. Alamat jelas sebuah universitas tertera di dalam kartu itu.
Meski sudah empat kali bertemu, namun Prastiwi tak pernah bersedia memberikan nomor telpon rumah atau handphone, juga alamat rumahnya. Alasannya macam-macam. Yang nggak punya telpon, rumahnya jelek, ibunya galak dan nggak suka menerima tamu terutama teman cowoknya.
"Bagaimana kalau nanti diam-diam aku membuntutimu dan tiba-tiba aku sudah berdiri di depan pintu rumahmu keesokan harinya?" tanya Fajar bercanda dengan nada serius.
"Kalau sampai kamu datang ke rumahku tanpa seijinku, maka aku tidak akan mau menemuimu lagi seumur hidupku," jawabnya dengan tegas
Entah kenapa Fajar benar-benar ngeri mendengar ultimatumnya waktu itu. Dan ia benar-benar mematuhi semua larangannya. Waktu itu Fajar pernah memberinya kartu nama. Namun Prastiwi nggak pernah menghubunginya atau memberitahunya bahwa ia sudah berada di suatu tempat, sehingga Fajar bisa menyusulnya dan menemuinya. Kalaupun bisa bertemu dan ngobrol di suatu tempat, bukan karena mareka  janjian ketemu. Itu semua karena unsur ktidaksengajaan.  Jadi jika ingin bertemu, selama berhari-hari dan selama berjam-jam Fajar menunggu di toko buku,  sampai terlihat sekelebat bayangan Prastiwi muncul di hadapannya. Setelah itu, barulah Fajar mengajakknya ke suatu tempat agar mereka bisa ngobrol.
Sebenarnya bisa saja Fajar datang ke rumahnya. Alamat lengkap ada di kartu mahasiswa milik Prastiwi. yang sekarang ada di tangannya itu. Tapi entahlah. Ia mengingat sekali lagi ancamannya bahwa dia tidak akan mau menemuinya seumur hidupnya jika ia datang ke rumahnya tanpa seijinnya. Meski bertekad tidak akan menemuinya lagi, namun di pucuk hatinya ia masih berharap suatu ketika ada sesuatu yang mempertemukan mereka kembali.  (ada terusannya)

>=< >=< >=<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar