26 Oktober 2011

Tamu untuk Handini

Handini menggerutu panjang lebar ketika ibunya memintanya membuatkan opor ayam guna menyambut tamu yang bakal datang ke rumah mereka. Tamu siapa, masa bodoh.  Ia akan cepat mengerjakan perintah yang tak bisa ia tolak itu karena tugas kuliah juga menunggu diselesaikannya hari itu juga. Kadang ia kesal pada ibunya. Ibunya punya dua anak perempuan. Tapi dari dulu selalu dirinya yang jadi tumpuan pekerjaan-pekerjaan di seputar dapur. Memasak, membuat kue-kue lebaran, belanja hingga membuat hidangan arisan, dan sebaginya. Kenapa bukan kakaknya? Lestari kan anak perempuan juga? Kenapa dia cuma disuruh untuk hal-hal enteng seperti menyapu dan membereskan rumah?

"Mbakyumu itu nggak bisa masak. Tapi malas kalau disuruh belajar masak. Biar saja nanti dia menyesal kalau sudah berumah tangga!" sahut ibunya menanggapi protes keras Handini tentang ketidakadilan yang selingkali dilontarkannya itu. Kakaknya itu memang paling anti kalau disuruh turun ke dapur. Dia hanya datang untuk mencicipi dan mengomentari masakan-masakan yang selesai dimasak.Tapi ada kalanya ia menawarkan diri untuk mencuci alat-alat masak yang kotor bekas dipakai memasak. Dan anehnya, ketika ia sudah menikah  lebih dari setahun lamanya, keinginannya untuk belajar memasak tak kunjung datang. Ketika ibu dan adiknya tengah repot di dapur, tetap saja ia hadir untuk sekedar menjadi tukang icip.

Ternyata banyak yang harus dikerjakan. Ibunya membuat masakan gudeg komplit yang meliputi gudeg, opor ayam dan sambal goreng kentang yang dicampur ati sapi dan krecek serta kacang merah. Ketika opor sudah matang, tak tega Handini membiarkan ibunya berkutat sendirian menyelesaikan masakan lainnya. Mau nggak mau ia mengambil alih masakan yang berikutnya. Diambilnya cobek untuk membuat bumbu sambal goreng. Tanpa didikte ia sudah hapal diluar kepala tentang bumbu-bumbu yang harus diulegnya dan seberapa banyak yang harus diambilnya.

Semua hidangan sudah tertata rapi di meja makan. Serbet makan, air putih dan buah sudah siap pula semuanya. Tinggal menunggu tamu yang kata Ibunya akan datang sekitar sejam lagi. Handini pergi ke kamar mandi ketika dirasa tidak ada lagi yang harus dikerjakannya.Ia mengguyur sekujur tubuhnya dan juga mengeramasi rambutnya yang baunya na'udzubillah. Ia tidak akan bisa konsentrasi belajar dengan rambut kotor dan bau masakan bercampur keringat begitu.

"Kayaknya aku nggak usah ikut menemui tamunya, Bu. Ada mbak Lestari, kan? Aku mau belajar. Aku juga  ada tugas yang harus dikumpulkan besok di kampus," kata Handini begitu keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengan ibunya di ruang makan.

"Eh, nggak menemui bagaimana? Justru kamu yang harus menemui tamunya. Cepat keringkan rambutmu dan ganti baju sana!" perintah ibunya tidak mau mendengar alasan apapun dari Handini untuk tidak menemui tamunya malam ini.

"Huuhh, Ibu ini! Pokoknya aku mau belajar!" serunya sambil menutup pintu dengan keras. Kayaknya dengan cara membanting pintu hingga terdengar dentuman keras memenuhi seisi rumah baru ibunya bisa menyadari bahwa kuliahnya jauh lebih penting ketimbang menemui bekas teman lama ibunya di ruang tamu sana.

Dengan rambut yang masih awut-awutan, Handini langsung menuju meja belajarnya. Ia meraih sebuah buku dan mulai membuka di bagian yang telah diberi tanda dengan kertas pembatas. Ia membaca beberapa baris hingga satu setengah halaman, ketika mendengar panggilan ibunya di luar kamar.

"Astaghfirullah hal adhim! Din, kenapa kamu belum ganti baju? Dan rambutmu, masya Allah!" seru ibunya ketika membuka pintu kamar.

"Kan, aku sudah bilang aku mau belajar? Tolong, Ibu, aku mohon, aku ada tugas penting yang harus dikumpulkan besok di kampus. Kalau aku nggak mengumpulakn tugas itu besok, aku nggak bisa ikut ujian semesteran. Nanti kalau IP-ku jelek Ibu juga akan ngomel-ngomel, kan?"

"Ada yang ingin ibu bicarakan." Ibu  berkata dengan nada serius. Handini meninggalkan bukunya dan mengalihkan perhatiannya sejenak ke arah ibunya yang telah duduk di pinggir tempat tidurnya, tepat di samping meja belajarnya. "Maaf kalau Ibu nggak mengatakan kepadamu sebelumnya. Ini tentang wasiat bapakmu yang ingin menjodohkan kamu dengan anak dari teman ibu yang akan datang malam ini."

Handini tercengang, terperangah, lalu tertegun. "Ibu menjodohkan aku dengan anak teman Ibu?" Ingin ia tertawa. Menertawakan ibunya yang punya pikiran sekuno orang tua Siti Nurbaya. Ini jaman  facebook, twitter, dan sebaginya. Bahkan di tengah belantarapun orang bisa mendapatkan jodoh lewat sebuah akun.
Tapi lihat apa yang dilakukan ibunya. Dia seolah-olah khawatir banget anak gadisnya tidak mampu mencari pacar sendiri di tengah-tengah kesibukannya kuliah.

"Ibu tidak memaksa kamu harus menerimanya. Tapi paling tidak Ibu ingin kamu menemuinya sekali ini saja. Ini semata-mata untuk menjaga hubungan persahabatan antara Ibu dan teman Ibu. Mereka sudah datang. Tolong kamu segera ganti baju dan keluar menemui mereka," perintah itu begitu menyebalkan. Namun Handini nggak kuasa membantah. Yach, demi ibunya ia akan menemui tamu di ruang tamu sana cukup hanya sekali saja seumur hidupnya. Tekadnya sambil bangkit dari meja belajarnya.

Seorang wanita berwajah cantik dan ramah mengingatkannya pada seorang artis penyanyi pada jaman dulu. Entah siapa namanya ia lupa. Handini meletakkan cangkir-cangkir berisi teh manis hangat di atas meja lalu menyalami tangan wanita itu seraya mencium tangannya dengan penuh hormat. Dan seseorang di sebelahnya adalah lelaki muda bertampang kalem dan memiliki senyuman yang hangat serta tatap mata yang lembut memikat. Handini terpana, namun sesaat grogi menyadari keterpikatannya pada laki-laki itu. Ada yang aneh yang menjalar dalam tubuhnya manakala telapak tangan mereka bertautan.

Jadi cowok ini yang akan dijodohkan denganku? Gumam hatinya bergemuruh penuh sorak sorai  menyadari kehadiaran cowok ganteng di hadapannya. Senyumnya benar-benar menakjubkan dan matanya yang berkaca mata itu benar-benar lembut dan menyejukkan kala menatap ke arahnya.Tugas kuliah lepas dari ingatannya. Ujian semesteran dan ancaman IP jeblok sama sekali tidak mengusiknya.Ia terus mengobrol dan sesekali menimpali candaan Aldi sambil kemudian tergelak. Aldi juga tertawa. Hanya dalam waktu singkat keduanya telah begitu akrab. Tidak ada canggung, tidak ada sikap basa-basi. Semua mengalir dengan semestinya. Bagai aliran air sungai yang jernih dan menyegarkan.

Ketika tamunya sudah pulang, ia segera masuk ke kamarnya.  Ia telah duduk di meja belajarnya selama berpuluh menit lamanya. Namun begitu ia tak kunjung menyentuh tugas kuliahnya. Bahkan deretan huruf dalam diktat kuliahnya pun tak sanggup dicernanya. Otaknya tak bergerak, tak berfungsi. Isi kepalanya hanya berisi wajah Aldi dan kalimat-kalimat yang diucapkannya saat berada berdua di ruang tamu. "Benar kamu yang memasak opor tadi? Hebat banget kamu masuk kuliah lewat PMDK? IP kamu tiga koma? Ck ck ck ck!" Dan banyak lagi pujian-pujian yang sempat membuatnya gerah dan risih.

Ketika raganya mulai dilingkupi rasa letih, ingatannya akan Aldi dan mamanya kian mengendur. Iapun merangkak lelah menuju tempat tidur seraya menyerahkan dirinya pada rasa kantuk yang kian menguasainya. Matanya terpejam merapat. Dan beberapa detik menjelang lelap merenggut, ia tergeragap bangun. Ia mengingat tugas kuliah yang belum sedikitpun dikerjakannya. Ia ingin bangkit  dan kembali menuju meja belajarnya, namun beberapa detik kembali tubuh lunglainya terpuruk ke atas kasur. "Besok pagi-pagi saja aku bangun," gumamnya seraya menarik selimut dan dalam sesaat langsung terlelap. (tamat).

25 Oktober 2011

Cinta Semerah Mawar

(Cerpen ini aku buat dalam rangka ulang tahun DIMPA - Divisi Mahasiswa Pecinta Alam UMM ke-28. Cerita ini hanya fiktif, dan berlatar belakang tentang kehidupan anggota pecinta alam yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan oleh orang terdekatnya. VIVA DIMPA.)


Irfan membaca status facebook  yang bermunculan di layar  komputernya. Matanya berhenti pada sosok dalam sebuah foto profile. Cewek manis dengan jilbab bermotif  dan berumbai di sana sini. Wajahnya memang tidak berubah. Tetap cantik dan ceria. Hanya bedanya sekarang nampak lebih dewasa. Dan  pakai jilbab. Kalau dulu boro-boro.Namanya juga anak pecinta alam? Penampilannya ala kadarnya. Kaos plus jaket , atau kemeja lengan panjang berbahan flanel dan jins belel yang kadang-kadang terlihat bolong di dengkul atau di paha.  Rambutnya yang melewati bahupun dibiarkan tergerai bebas tak beraturan, atau asal diikat semaunya. Dia sedikitpun tidak memikirkan penampilan. Tidak seperti teman-teman cewek yang lain yang dengan heboh berdandan ketika datang ke kampus.

Hubungan mereka waktu itu sangat dekat, meski tidak sampai tahap pacaran. Hampir memasuki gerbang pacaran, namun karena sesuatu hal, perasaan yang penuh bunga itu bagai tak ada  lagi wanginya dan kehilangan warna cerahnya. Entah apa yang mereka perdebatkan waktu itu. Skripsi adalah satu alasan tepat untuk menciptakan jarak di hati yang mulai merasakan kehambaran dan keasingan satu dengan yang lain. Dan setelah itu keduanya mencuat, melejit, dan mencapi garis takdir masing-masing. Irfan sempat mencarinya ketika wisuda. Tapi ia tidak menemukannya. Dalam buku daftar peserta wisuda ada tertulis nama Heidi Kusumawardani. Tapi di mana dia? Kemudian dari salah seorang teman, Irfan mendapatkan informasi tentang keberadaan Heidi. Dia sedang naik gunung!

Menggelegak hati Irfan oleh kemarahan. Benar-benar sakit jiwa. Geramnya sembari mengepal-ngepalkan tinjunya dengan keras. Entah siapa yang akan menjadi sasaran tonjokannya. Wisuda adalah hari yang bersejarah bagi semua mahasiswa. Tapi Heidi? Tidakkah dia itu ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah susah payah membiayainya kuliah? Meski hanya sekedar foto bersama dengan mengenakan toga, sebagai bukti atau pun kenang-kenangan bahwa ia pernah mengenyam pendidikan di sebuah universitas. Lalu apa yang dilakukannya di puncak gunung? Apa ia membawa toganya ke puncak gunung, dan berfoto bersama teman-teman gebleknya?!

Heidi tidak pernah ingin jadi guru seperti keinginan orang tuanya. Jadi menurutnya kalau ia kuliah itu bukan untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya. Tidak masalah ia akan mbolos kuliah sampai berhari-hari hanya untuk urusan naik gunung.  "Yang penting IP-ku bagus!" sahutnya cuek menanggapi teguran Irfan setiap kali melihatnya menenteng tas ransel berisi perlengkapan naik gunung.

Tujuh tahun berlalu. Dalam usianya yang sekarang adalah titik akhir ia harus mengakhiri masa lajangnya. Itu prinsipnya sejak dulu kala. Tapi dengan siapa ia akan menikah? Sekali lagi ia menatap foto profile di dalam layar monitornya. Hanya Heidi yang sejak dulu ia impi-impikan untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi ke mana dia? Tidak ada info jelas di kota mana keberadaannya saat ini. Hanya  email. Apa ia masih di rumahnya yang dulu? Dia masih berada di kota ini?

Kepalanya tergeleng pelan membantah tanya dalam hatinya. Mustahil ia betah tinggal di kota kelahirannya selama berpuluh tahun. Yang ada juga dia pasti sudah keliling ke berbagai pulau atau bahkan sudah terbang ke negara lain. Bukankah itu cita-citanya? Ia ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Dan nggak bakal kembali lagi. Irfan ingat Heidi mengatakan hal itu karena marah dengan bapaknya. Karena bapaknya selalu mengatur-ngatur  dan memaksakan sesuatu untuk kehidupan dan masa depannya. Termasuk ketika ia harus kuliah di IKIP dan jadi guru.

Dengan keberanian yang tidak utuh sama sekali ia pergi membawa mobilnya menuju rumah Heidi. Seribu satu harapan memenuhi hatinya. Dan seribu satu pikiran buruk menguasai pikirannya pula. Namun rasa cemas, gelisah dan kalut itu tergerus oleh rasa penasaran disamping rindu yang meletup lemah di dasar hatinya. Apakah Heidi masih tinggal di rumah orang tuanya? Filingnya ia ada di sana. Namun apa ia masih mengingatnya? Tentu. Mustahil ia lupa lelaki bernama Irfan. Lalu, apa dia sudah menikah? Oh, ia tak yakin dengan jawaban hatinya. Mungkin dia sudah menikah. tapi demi Tuhan, Irfan sungguh berharap mendapat sebuah keajaiban bisa menemui Heidi saat ini dalam keadaan masih perawan suci.

"Oh, teman kuliahnya yang dulu itu, ya? Iya, Heidi masih tinggal di sini. Tapi dia sedang menjemput anak-anaknya yang sekolah TK di jalan sebelum arah ke pasar. Tahu,kan? Nggak jauh, kok dari sini." Irfan sempat termangu mendengar ucapan ibunya yang kelihatan masih awet muda itu. Masih tinggal di sini. Tapi sedang menjemput anak-anaknya. Oh, Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, desahnya serasa ingin bersandar atas rasa putus asa yang tengah melandanya. jadi Heidi sudah menikah dan punya anak-anak? berapa anaknya? Ibunya bilang anak-anak. berarti anaknya dua, tiga atau empat. Tapi demi rasa penasaran ia tetap akan menemuinya. Ia berpamitan lalu meninggalkan rumah penuh tanaman hijau itu.

Di depan sebuah sekolah TK, nampak sosok langsing itu dengan mengenakan setelan blazer dan celana panjang serta berkerudung warna yang senada. Tidak seperti ibu-ibu lainnya yang bergerombol mengerumpi. Heidi nampak menyendiri dan sibuk dengan blackberry di tangannya. Irfan turun dari mobilnya dan perlahan melangkah ke arahnya.

"Heidi," panggilnya dengan suara bergetar oleh kerinduan yang menggumpal-gumpal bagaikan awan putih yang bergerombol di langit. Kalau  saja Heidi belum menikah mungkin ia akan memeluknya. Tapi ia tak mungkin melakukan hal sengawur itu. Bahkan untuk sekedar menyalaminya saja ia tak punya keinginan. Dilihatnya perempuan itu terpana hingga beberapa saat oleh kehadirannya. Dan keterkejutan itu akhirnya ditutupnya dengan ulasan senyuman yang manis namun berwibawa.

"Irfan," gumamnya perlahan sambil tak putus menatap lelaki di hadapannya. Ia juga tak menyentuh atau mengguncang lengannya seperti dulu. Apa karena statusnya yang sudah menikah atau karena mengira Irfan juga sudah menikah pula? Entahlah.

"Aku tadi ke rumahmu. Kata ibumu kamu menjemput anak-anakmu di sekolah ini. Jadi aku ke sini.," ucapnya setelah sekilas berbasa basi menanyakan kabar.  Irfan menyadari jauhnya perbedaan penampilan Heidi dengan ibu-ibu penjemput lainnya. Nggak mungkin sehari-harinya Heidi mengenakan pakaian seformil itu hanya untuk menjemput anak sekolah. kecuali dia..."Kamu kerja? Kerja di mana?"

"Aku mengajar," jawabnya sambil tersenyum sementara matanya menatap Irfan, seolah menunggu reaksi  keras yang bakal ditunjukkannya. "Aku jadi dosen di universitas swasta. Iya, aku dulu memang menolak jadi guru, tapi kenyataannya aku malah jadi dosen. Nggak tahu, mungkin sudah takdir aku harus mengikuti jejak  profesi bapakku. Dan agaknya aku nggak bisa keluar dari jalur takdirku itu," tawanya renyah tersembur. "Aku juga ingin pergi dari tempat ini. Aku sempat ke Australi, tapi hanya beberapa tahun untuk menyelesaikan S2-ku. Setelah itu aku mau nggak mau kembali ke sini."

"Kamu sudah S2? Di Australi lagi!" seru Irfan takjub. Kepalanya menggeleng-geleng heran bercampur kagum.

Heidi mengibaskan tangannya ke udara. "Alhamdulillah, aku dapat beasiswa dari tempatku mengajar. Kalau dengan biaya sendiri mana mampu?"

"Suamimu anak pecinta alam yang sering mengajakmu naik gunung dulu itu?" tanya Irfan menekan nada getir  sekaligus ketus dalam kalimatnya. Ia menatap wajah cantik itu dengan tajam hingga seolah menembus ke jantungnya untuk mendengar jawabannya.

"Gila, anak pecinta alam siapa? Aku belum menikah."

"Kamu belum menikah? Lalu anak-anakmu?"

Heidi menghela nafas. "Aku mengadopsi anak itu dari bayi. Dua bocah kembar itu ditinggal begitu saja oleh ibunya selesai dia melahirkan di sebuah klinik bersalin milik teman ibuku. Begitu melihatnya aku langsung jatuh cinta. Lalu kubawa mereka ke rumah. Aku merawatnya bersama ibuku selama empat tahun ini." Heidi lalu menatapnya pula dengan lebih seksama."Kamu sendiri?"

"Yach, beginilah keadaanku. Tidak ada cewek yang mau menikah dengan lelaki seperti aku ini."

"Kasihan banget kamu? Jadi cewek-cewek Senat yang kamu bangga-banggakan dulu itu sudah mencampakkanmu?" ejeknya tanpa ampun.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku bersyukur kamu masih mau menungguku."

"Jangan ge-er!" sergahnya seketika.

"Menikahlah denganku," pintanya dengan tatapan penuh permohonan.

Heidi tertawa. "Begitu menikah, kamu seketika akan jadi seorang bapak dari dua orang anak. Apakah kamu sanggup menanggung beban mereka itu?"

"Tentu saja. Kalau kamu saja sendirian sanggup menanggungnya, kenapa aku tidak?"

"Kamu serius?" tanya Heidi dengan ragu.

"Aku sungguh sayang sama kamu, Heidi, dari dulu hingga sekarang. Dan aku juga akan menyayangi anak-anak itu pastinya."

"Oke, kalau gitu ajak orang tuamu ke rumahku untuk menemui ibuku."

Irfan mengambil tangannya untuk menggenggamnya. Namun sesaat tangan itu terlepas  manakala rombongan bocah-bocah mungil dan lucu serta berseragam keluar dari pintu gerbang. Dan sepasang diantaranya menemui Heidi serta menatap penuh tanya pada lelaki di dekatnya. Heidi memperkenalkan mereka pada Irfan. dan dalam beberapa saat nampak Irfan membopong salah satu anak itu menuju mobilnya. Dan Heidi membawa satunya lagi membuntuti di belakangnya. (Tamat)

23 September 2011

PERJODOHAN # 6 : Cerita tentang Perjodohan


Meski gerah mendengarkan cercaan mamanya tentang Prastiwi, namun Fajar tetap membuntuti mamanya hingga keluar kamarnya menuju ruang tengah. Dan siap mendengarkan cercaan berikutnya.Sebenarnya ia hanya khawatir dengan kemarahannya itu. Mamanya diam mematung menghadap jendela besar yang ada di ruangan itu hingga beberapa lama.
"Aku berniat tidak akan menemuinya. .Mama percaya sama aku, kan? Kalaupun aku menemuinya, itu hanya  untuk memberikan kartu mahasiswanya," kata Fajar membuka suara.
"Sudah, buang saja ke ke got kartu mahasiswanya itu!" sahut mama kesal.
"Jangan, Ma, kasihan, kartu mahasiswa itu penting untuknya. Setidaknya untuk mengikuti kegiatan atau menggunakan fasilitas di kampusnya, ia perlu kartu mahasiswa itu. Kelihatannya dia itu juga golongan orang menengah. Orangnya sederhana tapi semangat belajarnya tinggi. Dia juga pintar...'
''cukup, Jar!" tukas mamanya dengan berseru. "Mama tahu siapa dia. Latar belakangnya seperti apa juga mama tahu. Orang tuanya, keluarganya, semuanya!"
"Jadi mama kenal dengan Prastiwi?" Fajar nampak tercengang. Bingung menerka-nerka dari mana cara mamanya bisa mengenal Prastiwi.
Tubuh langsing itu berbalik membelakangi jendela. Fajar kini bisa melihat dengan jelas wajah mamanya yang terlihat  menegang. Bibirnya bergetar seperti ingin berkata-kata tapi susah mengeluarkannya. Tangannya mencengkeram sandaran sofa, seolah khawatir tubuhnya tiba-tiba limbung ke lantai. Fajar mengambil tangannya dan membimbingnya menuju sofa. Mereka duduk berhadapan. Dan Fajar menunggu cerita mamanya tentang Prastiwi dengan sabar sekaligus penasaran.
"Ibunya teman baik mama tadinya. Ayahnya juga sahabat papamu. bahkan mbah kakungnya adalah teman eyangmu waktu itu," ujarnya mulai  menguasai diri.
Fajar tertegun mendengar penuturan itu. Ibunya Prastiwi teman mamanya. Ayahnya Prastiwi sahabat papanya. Bahkan kakeknya adalah teman eyangnya pula. Kalau begitu bukankah seharusnya hubungan dua keluarga itu akrab dan harmonis? Tapi kenapa mamanya sangat membenci Prastiwi, anak teman baiknya? Kalaupun tidak menyetujui atau khawatir ada hubungan istimewa antara dia dan Prastiwi, tapi kenapa mamanya harus semurka itu tiap kali mendengar ia menyebut tentang Prastiwi? Ada apa sebenarnya?
"Ma," sehalus mungkin Fajar berusaha menyadarkan mamanya."Apa benar Prastiwi yang mama maksud sama orangnya dengan yang di kartu tadi?"
"Tentu saja. Alamatnya jelas!" sahutnya kembali melecut.
"Mama tahu rumahnya? Maksudku pernah ke rumahnya?" tanyanya gagap. Ia bingung dengan apa yang hendak ia tanyakan. Banyak sekali tanya yang berimpitan di ruang oataknya dan ia harus mengeluarkannya satu persatu." Ma, masalahnya aku nggak tahu kenapa mama bisa benci sekali pada Prastiwi."
"Karena dia orang yang ingin menghancurkan masa depanmu. Dia juga pasti akan menghalangi rencana mama untuk menjodohkanmu dengan Selvi."
"Bukan. Bukan itu masalahnya. Aku tahu, Ma. Ada masalah apa antara keluarga kita dan keluarga Prastiwi? Apa mama, papa atau eyang pernah berselisih tentang suatu hal dengan pihak keluarga Prastiwi?"
Mata mama menatap nanar ke wajah putranya, lalu bergeser pedih ke arah dinding putih dan melesak keluar jendela. Di sanalah, jawaban dari pertanyaan Fajar tergambar. Sebuah kejadian besar yang sempat membuat dia dan keluarganya merasa bagaikan manusia terhina dan tak berharga sama sekali. Penolakan atas perjodohan antara Fajar dan Prastiwi sekitar satu setengah tahun yang lalu itu membuatnya syok berat. Bahkan hingga saat inipun sayatan penghinaan itu masih terasa perih dan seolah masih berdarah saat ada yang mengungkitnya seperti sekarang ini..
Fajar terpana hingga beberapa saat. "Jadi mama dan papa waktu itu menjodohkan aku dengan Prastiwi?!" tanya Fajar baru mengerti. Hatinya tiba-tiba merasa getir.
"Ya," sahut mamanya dengan getir pula dan nyaris tak terdengar. Ia menatap putranya dengan penuh rasa sesal sekaligus iba. "Pihak keluarga Prastiwi tiba-tiba menolak justru saat mama dan papa datang untuk melamar? Padahal kesepakatan sudah dibicarakan dan diputuskan dengan matang oleh keluarga kita maupun keluarga Prastiwi?"
Fajar terpaku di tempatnya. Pandangannya menerawang, seolah menyaksikan kembali rekaman kejadian setahun silam. Ia ingat waktu mamanya mengatakan bahwa ia sudah dijodohkan dengan seseorang. Dan Fajar hanya menurut saja waktu itu. Kalaupun harus menikah saat itu juga, ia sudah menyerahkan segala urasan pernikahan kepada mamanya. Kesibukan di tempat kerjanya sungguh tak sempat membuatnya berpikir untuk menolak seseorang yang sudah dijodohkan dengannya. Ia percaya, mama dan papanya akan memilihkan seseorang yang terbaik untuknya. Tapi mendadak ia mendengar berita bahwa perjodohan itu dibatalkan karena pihak cewek yang dijodohkan dengannya tiba-tiba menolak rencana perjodohan tersebut, Waktu itu memang tidak ada yang ia rasakan, apalagi merasa terhina seperti halnya mamanya. Hatinya benar-benar tawar. Tidak merasakan kesedihan ataupun kebahagiaan dengan kejadian itu. Entah apa yang dipikirkannya. Ia tidak mengenal calon pinangannya. Tahu wajahnya seperti apa juga enggak. Yang ia tahu ia harus menuruti mamanya. Menikah. Titik.
"Sebenarnya mama tidak ingin mengingat-ingat hal itu lagi. Terlalu sakit saat mengingatnya," Terdengar kembali suara mamanya diantara desah sedihnya "Kamu cukup tahu saja bagaimana kamu bersikap di hadapan gadis tidak tahu diri itu.  Saat ini, tidak ada maksud lain dalam dirinya selain hanya ingin menghancurkanmu untuk kedua kalinya. Dia hanya akan mempermainkan perasaanmu, Fajar. Ingat itu!"
"Ya, Ma," sahut Fajar lirih.

>=< >=< >=<

17 September 2011

PERJODOHAN #5 : Kegusaran sang mama


 Mungkin ada baiknya kalau ia berterus-terang pada mamanya kalau ia tidak pernah mencintai Selvi. Lalu? Ia menarik nafas berat. Dipandangi foto dalam kertas berlaminating itu. Begitu bening wajahnya. Nyaris bagai bocah yang tak tersentuh dengan urusan dosa. Kalau saja ia tidak terburu-buru mengatakan tentang sisi buruknya waktu itu, mungkin Fajar sudah akan membawanya ke rumahnya. Gadis yang nampak lugu, cantik dan pintar tentu saja itu akan diperkenalkan dengan mamanya sebagai calon istrinya. Apa kira-kira komentar mamanya? Apa mamanya akan menyukainya dan mengagung-agungkannya sebagai mana terhadap Selvi?
Dan Prastiwi. Apa ia bersedia menjadii calon istrinya? Atau setidaknya menjadi pacar. Dia masih begitu belia. Rasanya sulit memastikan dia bakal bersedia menikah di usianya yang sekarang. Di mana dia masih suka bersenang-senang dan berkumpul bersama teman-temannya. Sembilan puluh persen Fajar yakin isi hati gadis itu. Dari matanya yang bersinar kala tiba-tiba bertemu, dari pendar bola matanya kala diam-diam terperangkap tengah memandanginya. Meski belum pernah memegang tangannya, ia juga yakin jemari mungilnya itu pasti terasa dingin dan hatinya berdebar tak menentu manakala menunggu detik-detik pertemuan mereka.
Prastiwi menyukainya. Tentu saja. Siapa yang tidak mau punya pacar kayak dia? Seorang ibu pasti tidak keberatan bila anak gadisnya punya hubungan khusus dengannya. Minimal karena dia punya masa depan dan bukan seorang pengangguran. Lagi pula Fajar juga lumayan ganteng, punya penghasilan lumayan, dan punya jabatan di sebuah perusahaan yang cukup besar.
Seperti dia juga menyukai gadis itu. Beberapa hari yang lalu perasaan itu tidak seyakin saat ini. Begitu ia memutuskan tidak akan menemuinya, seolah ada bagian di dalam kalbunya  yang memberontak dan menolak keputusan besar itu. Bahkan saat ini ia sudah mulai kangen. Sudah seminggu mereka tidak bertemu.
Entah apa yang terjadi dalam dirinya. Ia dipenuhi perasaan aneh berkaitan dengan gadis bernama Prastiwi. Semakin ingin dihapus dari ingatnnya, semakin kuat bayangannya itu melekat dalam benaknya.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu mamanya sudah berada di ruang kamarnya. Berdiri tepat di samping kursinya, tempat ia duduk melamun. Ia kaget. Tapi sadar nggak ada yang bisa ia sembunyikan dari mamanya. Kartu mahasiswa itu dalam beberapa saat sudah berpindah tangan.
"Siapa dia?" tanya mamanya langsung.
"Teman, Ma.Ini kartu mahasiswa punyanya terjatuh dijalan. Aku akan mengembalikannya."
"Siapa namanya?" tanya mamanya dengan penasaran Ia seperti nggak punya kemampuan membaca huruf -huruf yang tercantum di dalam kartu mahasiswa yang di pegangnya dan di letakkan di dekat wajahnya. Matanya mengeriyip berusaha mengeja tulisan dengan lebih jelas.
"Mama baca sendiri, kan? Namanya Prastiwi. Gimana pendapat mama? Dia cantik, kan?"
"Cewek kayak begini ?!"tiba-tiba terdengar serentetan letusan dari mulut wanita cantik itu.
Fajar tercekat. "Tenang saja, ma. Aku hanya bercanda, kok."
 Fajar seolah memahami maksud kegusaran mamanya. Tentu saja gadis pilihannya tidak akan mau disamakan dengan gadis manapun. Pilihan mamanya bulat, Selvi. Dan tidak ada yang lain selain Selvi.
"Kamu benar-benar keterlaluan!"Sekali sentak, kartu kecil berlaminating itu terhempas ke meja Fajar.
"Kenapa mama marah-marah begitu, sih? Demi Allah, Ma, aku dan Prastiwi hanya berteman. Memang kami pernah bertemu beberapa kali. Tapi kami nggak ada hubungan apa-apa," jelasnya.
"Mama minta kamu jangan menemui cewek itu lagi! Mama tahu siapa dia."
Bagaimana mungkin mama bisa tahu seseorang hanya dalam waktu sekejap dan dengan melihat gambarnya yang berukuran kecil di sebuah kartu mahasiswa? Fajar hampir tersenym mengingat hal itu. Perlahan tangannya meraih lengan mamanya. Dielusnya lengan yang mulai terlihat kendor itu dielusnya dengan lembut, sekedar menghiburnya sekaligus meyakinkannya bahwa ia akan melakukan apapun yang diperintahkannya.

>=< >=< >=<

15 September 2011

PERJODOHAN # 4 : Misteri gadis berjilbab


 Handphone berdering. Fajar hanya menoleh enggan ke arah benda kecil di atas tempat tidurnya dan tidak berusaha meraihnya. Ia mengacuhkannya dan kembali memusatkan perhatiannya ke arah layar laptop yang sejak beberapa jam tadi dipelototinya. Namun sekitar dua menit, kembali handphone itu bernyanyi. Lampunya menyala terang, sehingga terlihat getaran yang ditimbulkannya. Dengan kesal akhirnya Fajar bangkit meninggalkan meja kamputernya. Ternyata Selvi.  Ia menjawab telpon itu dengan nada malas dan agak ketus.
Kalau tidak ingat bahwa gadis itu yang diharapkan mamanya kelak menjadi istrinya, ia tidak akan memperdulikan panggilannya di telpon. Apalagi Selvi hanya membicarakan hal-hal yang sama sekali tidak penting baginya. Hanya ucapan-ucapan basa basi  yang membuatnya muak. Lagi pula Selvi akan mengadu pada mamanya perihal telpon yang tidak dijawabnya.
Ketika hendak kembali menekuni pekerjaan kantornya yang dibawanya di rumah, ia sudah sulit sekali berkonsentrasi. Kekesalannya pada Selvi, mengingat keinginan mamanya untuk menjodohkan Selvi dengan dirinya, juga menyadari kebodohannya yang tak mampu mencari sendiri seorang calon istri. Semua itu membuat kacau isi kepalanya dan ketika hendak memaksakan diri kembali mengutak-atik pekerjaan kantornya, mendadak ia merasa kepalanya pening.
Ia merebah di atas kasur. Berusaha memejamkan matanya. Suatu ketika ia pernah bermimpi bertemu dengan seorang gadis berjilbab. Tidak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba cewek itu muncul dengan jarak beberapa meter dari arahnya. Pakaiannya rapi dengan nuansa warna hijau lembut dari mulai jilbab, baju dan rok panjangnya yang menutupi seluruh bagian kakinya.  Fajar menaksir mimpinya tak lebih dari sebuah bunga tidur. Namun anehnya, meski hanya sekali dan dalam waktu sekejap ia bertemu dengan gadis berjilbab itu, namun bayangannya terus mengendap di dalam ingatannya. Seolah ia melihatnya nyata dan bukan dalam mimpi.
Fajar merenung dan terus memikirkan mimpinya. Ia mulai mendapat semacam hidayah.  Karena semenjak itu  ia menegaskan dirinya bahwa ia akan berusaha mendapatkan seorang pacar atau calon istri seorang yang berjilbab. Selvi tentu saja bukan termasuk kategori di dalamnya. Dia nggak pakai jilbab, dan selalu mengenakan pakaian ketat atau rok pendek sepaha setiap kali datang ke kantor.  Sehingga semua lelaki selalu punya kesempatan menikmati sebagian kemulusan bagian tubuhnya yang sengaja dipertontonkan itu. Beberapa gadis di kantornya yang memakai jilbab sungguh tidak ada yang memenuhi seleranya. Ada saja kekurangann yang terlihat di matanya. Lalu iapun berusaha melupakan mimpinya, sampai ia bertemu dengan Prastiwi suatu hari di sebuah toko buku di kawasan alun-alun.
Prastiwi juga tidak berjilbab. Tapi entah kenapa ia selalu membayangkan wajah gadis berjilbab dalam mimpinya itu adalah Prastiwi. Prastiwi selalu mengenakan celana panjang dan blus panjang atau kaus yang di rangkapi sebuah jaket. Hanya dengan melilitkan sebuah kain di kepalanya ke arah lehernya, jadilah dia gadis berjilbab. Tapi Prastiwi tidak pernah memakai jilbab. Seperti yang dilihatnya selama ini. Mungkinkah  mimpi itu menggambarkan sebuah akhlak islami dengan isyarat sebuah jilbab? Oh, Fajar benar-benar berharap Prastiwilah gadis dalam mimpinya itu.
Tapi tiba-tiba ia melihat kenyataan Prastiwi mengaku seorang pecinta alam. Seorang yang ternyata suka mendaki gunung. Cewek macam apa dia? Sesungguhnya liar dan bengal. .Pantas saja ia sering mengatakan kalau sering nongkrong dan pulang ke rumah saat larut malam. Cewek baik-baik akan pulang ke rumah usai kuliah. Diam di rumah, belajar. Bukannya berkeliaran hingga tengah malam. Fajar juga heran kenapa seolah ia juga terperangkap dengan kisahnya yang selalu blak-blakan ia ungkapkan Waktu itu ia pernah cerita tentang tingkah polah konyol teman-temannya yang tengah mabuk. Uh, jangan-jangan ia termasuk anak-anak yang tengah mabuk itu. Gumam Fajar dengan hati gusar.
Lalu siapa gadis berjilbab dalam mimpiku itu ya Allah? Tolong berikan petunjuk kepadaku! Desahnya dalam sebuah  liris doa. Aku benar-benar nggak punya bayangan tentang seseorang yang bisa kuajukan ke hadapan mama. Apakah Selvi pada akhirnya yang akan menjadi istriku? Aku sungguh tidak pernah mencintainya.
(tunggu...)
>=< >=< >=<

13 September 2011

PERJODOHAN #3 : Selvi, jodoh pilihan mama

Fajar menyimpan kartu mahasiswa itu di dalam dashboard mobil. Ia urung menyerahkannya tadi begitu melihat Prastiwi terlihat muncul dari arah kampus menuju pintu gerbang bersama segerombol teman-temannya sambil berboncengan dengan sepeda motor. Tidak ada satupun dari mereka yang mengenakan helm. Mereka berkoar-koar sepanjang jalan, cekakak-cekakak dan terlihat liar seperti di dalam hutan. Dengan kencang motor-motor itu melaju ke jalanan menjauh dari kampus. Mustahil Fajar mengejarnya.  Dia akan ngebut memburu Prastiwi yang berboncengan dengan seorang cowok hanya  untuk memberikan sebuah kartu mahasiswa. Apa kata teman-temannya nanti? Berpuluh tanya akan dilontarkan seketika oleh mereka sehubungan dengan keberadaannya itu. Belum reaksi Prastiwi yang pasti kaget, marah , atau malu mungkin melihatnya tiba-tiba muncul di hadapannya.
Entah apa yang akan dilakukannya dengan kartu mahasiswa itu kini. Ia akan datang lagi ke kampus? Menunggunya di tempat biasa mereka bertemu? Atau pergi ke rumahnya? Entahlah, saat ini ia  benar-benar ingin melepaskan prastiwi dari ruang pikirannya.
Sesosok wanita setengah baya menyambutnya dengan hangat di ruang depan. Fajar merunduk untuk memberinya ciuman penuh sayang pada mamanya.
"Bagaimana keadaan di kantormu?" tanya mamanya begitu mereka duduk di ruang tengah. Seorang pembantu datang menyuguhkan secangkir teh hangat di atas meja.
"Baik-baik saja, Ma," Fajar langsung menyeruputnya dan meletakkan sisanya di atas meja lagi.
"Kamu tadi ketemu Selvi  di kantor?"
Fajar tercengang mendengar tanya itu. Ia mengingat-ingat apa yang diakukannya seharian tadi. Ia keluar kantor sebelum jam makan siang, lalu nongkrong selama berjam-jam di depan kampus Prastiwi sampai sore dan langsung pulang. Perlahan gelengannya terlihat lesu " Enggak, Ma. Aku nggak ketemu Selvi tadi kantor. Karena aku ...."
"Kamu keluar kantor seharian dan mematikan handphone-mu," tukas wanita setengah baya itu.
"Iya, handphone-ku low bath. Aku lupa mengecargh-nya semalam," terpaksa ia berbohong.
"Karena tidak bisa mengubungimu di handphone, dia menepon ke rumah. Akhirnya dia ngobrol  dengan mama panjang lebar di telpon," ujar mamanya. "Mama rasa dia gadis yang baik. Sopan, cantik, seksi, profesional di dalam pekerjaannya," lanjutnya dengan nada hati-hati. Kenapa kamu nggak segera menjatuhkan pilihanmu kepada gadis seperti Selvi itu? Kurang apa dia?"
Fajar tidak segera menyahut. Hanya terlihat mengusap wajahnya yang berminyak dan berkeringat.
"Nggak ada manusia yang sempurna. Kamu pun nggak sempurna. Apa yang kamu cari di dunia ini? Manusia nggak akan bisa mencapai akherat tanpa melewati dunia ini. Pekerjaanmu itu bukan segala-galanya," lanjut  sang mama.
"Aku bersedekah, berzakat, berinfak dan beramal dari hasil aku bekerja. Mama tahu itu kan?" protesnya.
"Tapi itu saja tidak cukup, Nak. Itu hanya sebagian kecil  saja . Kalau kamu menikah, baru kamu menjalankan separuh dari agamamu. Menikahlah, Fajar. Mama mohon. Ingat, umurmu sudah tidak muda lagi. Apa yang kamu tunggu? Seorang gadis sudah menunggumu dengan begitu sabar. Mama ingin kamu sehari-hari ada yang mengurusmu dan memperhatikanmu."
Terdengar helaan nafas panjang dan berat keluar dari hidung dan mulut laki -laki itu. Tubuhnya terkulai lemah di sandaran sofa. Sepintas bayangan Prastiwi berkelebat di pelupuk matanya. Tapi Fajar segera mengenyahkannya. "Iya, Ma. Mama atur saja semuanya.  Aku yakin mama  akan mengusahakan yang terbaik untukku," ucapnya pasrah.
"Apa kamu trauma dengan kejadian dulu?"
"Kejadian yang mana?"
"Perjodohan kamu yang gagal dulu?"
"Ah, aku pikir mama yang trauma. Aku sih it's oke.," 
"Dipaksa sekalipun kalau memang bukan jodoh, nggak bakal ada pernikahan," ujar mamanya dengan setengah menggumam,seolah mengatakan hal itu untuk dirinya sendiri pula.
Terlihat anggukan Fajar meski lemah. Setelah itu iapun masuk ke dalam kamarnya. Ia sempat menyalakan handphone dan memeriksa beberapa panggilan dan pesan singkat. Ada sebuah sebuah pesan singkat muncul di layar handphone-nya itu. Dari Selvi. "Kemana aja, sih? Banyak berkas dan dokumen penting yang harus kamu periksa dan kamu tandatangani. Aku taruh di laci mejamu." Dan ada satu lagi tulisan sekretaris di kantornya itu, "Sudah lama sekali kita tidak makan siang bareng, ya?"
Ia meletakkan handphone-nya dan pergi segera ke kamar mandi.(tunggu lanjutannya, ya!)

>=< >=< >=<

11 September 2011

PERJODOHAN #2 : Kartu mahasiswa


 Fajar menatap kertas berlaminating berukuran sedikit lebih besar ketimbang ukuran KTP. Di dalamnya terdapat sebuah foto milik seseorang berwajah imut, seumuran anak sekolah, lalu data lengkap tentang keberadaannya di dalam sebuah kampus universitas. Nama lengkap, tahun angkatan, fakultas, jurusan, juga alamat lengkap tempat tinggalnya.
"Maaf, aku mau pulang sekarang. Masalahnya aku belum sholat asyar," pamit Prastiwi sore itu. Karena terburu-buru, ia sampai nggak terasa meninggalkan kartu mahasiswanya tercecer di meja.
Fajar memungutnya dan menyimpannya hingga sekarang. Sebenarnya ia sudah tidak berpikir untuk menemuinya sejak mendengar penuturannya tentang kegiatannya di pecinta alam. Tapi karena kartu mahasiswa itu, ia merasa terikat untuk menemuinya sekali lagi, hanya sekedar untuk mengembalikan kartu mahasiswa itu. Kasihan, dia pasti mencarinya ke mana-mana dan tidak bisa bebas menggunakan fasilitas kampus tanpa memegang kartu mahasiswa di tangannya.
Kenapa ia suka naik gunung? Gumam batinnya mendesah. Sayang sekali. Anak secantik  dan selugu itu harus salah memilih lingkungan dalam pergaulannya. Tapi, apa ia seburam praduganya? Bahwa seorang anggota pecinta alam pastinya menjadi black list bagi sebagian besar mahasiswa, bahkan para dosen? Dikarenakan sikap urakan dan penampilan nyeleneh mereka. Dulu sewaktu masih mahasiswa, ia kenal  salah seorang  teman cewek yang menjadi anggota pecinta alam. Dia perokok, peminum dan ikut-ikutan menghisap ganja karena pacarnya juga pemakai narkoba. Dan mereka terlibat seks bebas meski akhirnya menikah  dengan resmi begitu mereka lulus kuliah.
Apa Prastiwi seperti itu juga? Fajar begitu resah dan miris  memikirkan satu kemungkinan itu. Meski ia mengaku sholat, seperti pamitnya sore itu. Ia mau pulang karena belum sholat asyar. Apa berarti seorang Prastiwi sebuah pengecualian? Tidak semua orang yang aktif di pecinta alam dan suka naik gunung pasti kehidupannya akan sehitam air comberan. Tapi benarkah? Ia belum pernah bertemu dengan seorang pecinta alam dalam pengecualian sebagaimana yang dikhayalkan Fajar dalam diri Prastiwi. Kepalanya tergeleng beberapa kali. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Teriak hatinya sekencangnya. Tidak mungkin ia akan jatuh cinta dengan gadis seperti itu. Tidak mungkin ia akan membawa gadis bandel ke hadapan mamanya, lalu mengatakan bahwa ini adalah calon istrinya.
Fajar bertekad mengembalikan kartu mahasiswa itu kepada Prastiwi.  Agar tidak menjadi beban pikirannya. Setelah itu ia akan melupakannya dan melupakan pertemuan bahkan pertemanan mereka yang sebenarnya sudah mulai terajut. Ia akan pergi ke kampusnya. Alamat jelas sebuah universitas tertera di dalam kartu itu.
Meski sudah empat kali bertemu, namun Prastiwi tak pernah bersedia memberikan nomor telpon rumah atau handphone, juga alamat rumahnya. Alasannya macam-macam. Yang nggak punya telpon, rumahnya jelek, ibunya galak dan nggak suka menerima tamu terutama teman cowoknya.
"Bagaimana kalau nanti diam-diam aku membuntutimu dan tiba-tiba aku sudah berdiri di depan pintu rumahmu keesokan harinya?" tanya Fajar bercanda dengan nada serius.
"Kalau sampai kamu datang ke rumahku tanpa seijinku, maka aku tidak akan mau menemuimu lagi seumur hidupku," jawabnya dengan tegas
Entah kenapa Fajar benar-benar ngeri mendengar ultimatumnya waktu itu. Dan ia benar-benar mematuhi semua larangannya. Waktu itu Fajar pernah memberinya kartu nama. Namun Prastiwi nggak pernah menghubunginya atau memberitahunya bahwa ia sudah berada di suatu tempat, sehingga Fajar bisa menyusulnya dan menemuinya. Kalaupun bisa bertemu dan ngobrol di suatu tempat, bukan karena mareka  janjian ketemu. Itu semua karena unsur ktidaksengajaan.  Jadi jika ingin bertemu, selama berhari-hari dan selama berjam-jam Fajar menunggu di toko buku,  sampai terlihat sekelebat bayangan Prastiwi muncul di hadapannya. Setelah itu, barulah Fajar mengajakknya ke suatu tempat agar mereka bisa ngobrol.
Sebenarnya bisa saja Fajar datang ke rumahnya. Alamat lengkap ada di kartu mahasiswa milik Prastiwi. yang sekarang ada di tangannya itu. Tapi entahlah. Ia mengingat sekali lagi ancamannya bahwa dia tidak akan mau menemuinya seumur hidupnya jika ia datang ke rumahnya tanpa seijinnya. Meski bertekad tidak akan menemuinya lagi, namun di pucuk hatinya ia masih berharap suatu ketika ada sesuatu yang mempertemukan mereka kembali.  (ada terusannya)

>=< >=< >=<