13 September 2011

PERJODOHAN #3 : Selvi, jodoh pilihan mama

Fajar menyimpan kartu mahasiswa itu di dalam dashboard mobil. Ia urung menyerahkannya tadi begitu melihat Prastiwi terlihat muncul dari arah kampus menuju pintu gerbang bersama segerombol teman-temannya sambil berboncengan dengan sepeda motor. Tidak ada satupun dari mereka yang mengenakan helm. Mereka berkoar-koar sepanjang jalan, cekakak-cekakak dan terlihat liar seperti di dalam hutan. Dengan kencang motor-motor itu melaju ke jalanan menjauh dari kampus. Mustahil Fajar mengejarnya.  Dia akan ngebut memburu Prastiwi yang berboncengan dengan seorang cowok hanya  untuk memberikan sebuah kartu mahasiswa. Apa kata teman-temannya nanti? Berpuluh tanya akan dilontarkan seketika oleh mereka sehubungan dengan keberadaannya itu. Belum reaksi Prastiwi yang pasti kaget, marah , atau malu mungkin melihatnya tiba-tiba muncul di hadapannya.
Entah apa yang akan dilakukannya dengan kartu mahasiswa itu kini. Ia akan datang lagi ke kampus? Menunggunya di tempat biasa mereka bertemu? Atau pergi ke rumahnya? Entahlah, saat ini ia  benar-benar ingin melepaskan prastiwi dari ruang pikirannya.
Sesosok wanita setengah baya menyambutnya dengan hangat di ruang depan. Fajar merunduk untuk memberinya ciuman penuh sayang pada mamanya.
"Bagaimana keadaan di kantormu?" tanya mamanya begitu mereka duduk di ruang tengah. Seorang pembantu datang menyuguhkan secangkir teh hangat di atas meja.
"Baik-baik saja, Ma," Fajar langsung menyeruputnya dan meletakkan sisanya di atas meja lagi.
"Kamu tadi ketemu Selvi  di kantor?"
Fajar tercengang mendengar tanya itu. Ia mengingat-ingat apa yang diakukannya seharian tadi. Ia keluar kantor sebelum jam makan siang, lalu nongkrong selama berjam-jam di depan kampus Prastiwi sampai sore dan langsung pulang. Perlahan gelengannya terlihat lesu " Enggak, Ma. Aku nggak ketemu Selvi tadi kantor. Karena aku ...."
"Kamu keluar kantor seharian dan mematikan handphone-mu," tukas wanita setengah baya itu.
"Iya, handphone-ku low bath. Aku lupa mengecargh-nya semalam," terpaksa ia berbohong.
"Karena tidak bisa mengubungimu di handphone, dia menepon ke rumah. Akhirnya dia ngobrol  dengan mama panjang lebar di telpon," ujar mamanya. "Mama rasa dia gadis yang baik. Sopan, cantik, seksi, profesional di dalam pekerjaannya," lanjutnya dengan nada hati-hati. Kenapa kamu nggak segera menjatuhkan pilihanmu kepada gadis seperti Selvi itu? Kurang apa dia?"
Fajar tidak segera menyahut. Hanya terlihat mengusap wajahnya yang berminyak dan berkeringat.
"Nggak ada manusia yang sempurna. Kamu pun nggak sempurna. Apa yang kamu cari di dunia ini? Manusia nggak akan bisa mencapai akherat tanpa melewati dunia ini. Pekerjaanmu itu bukan segala-galanya," lanjut  sang mama.
"Aku bersedekah, berzakat, berinfak dan beramal dari hasil aku bekerja. Mama tahu itu kan?" protesnya.
"Tapi itu saja tidak cukup, Nak. Itu hanya sebagian kecil  saja . Kalau kamu menikah, baru kamu menjalankan separuh dari agamamu. Menikahlah, Fajar. Mama mohon. Ingat, umurmu sudah tidak muda lagi. Apa yang kamu tunggu? Seorang gadis sudah menunggumu dengan begitu sabar. Mama ingin kamu sehari-hari ada yang mengurusmu dan memperhatikanmu."
Terdengar helaan nafas panjang dan berat keluar dari hidung dan mulut laki -laki itu. Tubuhnya terkulai lemah di sandaran sofa. Sepintas bayangan Prastiwi berkelebat di pelupuk matanya. Tapi Fajar segera mengenyahkannya. "Iya, Ma. Mama atur saja semuanya.  Aku yakin mama  akan mengusahakan yang terbaik untukku," ucapnya pasrah.
"Apa kamu trauma dengan kejadian dulu?"
"Kejadian yang mana?"
"Perjodohan kamu yang gagal dulu?"
"Ah, aku pikir mama yang trauma. Aku sih it's oke.," 
"Dipaksa sekalipun kalau memang bukan jodoh, nggak bakal ada pernikahan," ujar mamanya dengan setengah menggumam,seolah mengatakan hal itu untuk dirinya sendiri pula.
Terlihat anggukan Fajar meski lemah. Setelah itu iapun masuk ke dalam kamarnya. Ia sempat menyalakan handphone dan memeriksa beberapa panggilan dan pesan singkat. Ada sebuah sebuah pesan singkat muncul di layar handphone-nya itu. Dari Selvi. "Kemana aja, sih? Banyak berkas dan dokumen penting yang harus kamu periksa dan kamu tandatangani. Aku taruh di laci mejamu." Dan ada satu lagi tulisan sekretaris di kantornya itu, "Sudah lama sekali kita tidak makan siang bareng, ya?"
Ia meletakkan handphone-nya dan pergi segera ke kamar mandi.(tunggu lanjutannya, ya!)

>=< >=< >=<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar